MAHKAMAH Konstitusi (MK) pada Kamis, 26 Juni 2025, mengabulkan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu atau UU Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Uji materi tersebut diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
MK memutuskan penyelenggaraan pemilu di tingkat nasional harus dilakukan terpisah dengan penyelenggaraan pemilu tingkat daerah atau kota (pemilu lokal). Mahkamah memutuskan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional.
Pemilu nasional adalah pemilu anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden, sementara pemilu lokal terdiri atas pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala dan wakil kepala daerah. Dengan putusan itu, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak” tidak lagi berlaku untuk Pemilu 2029.
Ketua Komisi II DPR Muhammad Rifqinizamy Karsayuda mengatakan pihaknya belum berencana membuat panitia kerja (panja) revisi UU Pemilu dalam menyikapi putusan MK itu. Dia menegaskan sikap Komisi II DPR terhadap pembahasan revisi UU Pemilu dan revisi UU Pilkada, yang wacananya akan disatukan menjadi RUU Omnibus Law Politik, menunggu keputusan pimpinan DPR.
“Sikap kami jelas dari awal. Tadi kami juga tegaskan kembali, sikap Komisi II terkait dengan pembahasan RUU Pemilu, bahkan RUU Omnibus Law Politik, secara keseluruhan menunggu arahan dan keputusan pimpinan DPR,” kata Rifqi di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 30 Juni 2025, seperti dikutip dari Antara.
Politikus Partai NasDem ini mengatakan pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada pimpinan DPR mengenai pelaksanaan waktu hingga alat kelengkapan dewan (AKD) DPR yang akan ditugaskan membahas RUU tersebut. Meski demikian, dia mengaku bersedia apabila Komisi II DPR yang nantinya ditugaskan menggulirkan pembahasan RUU Pemilu.
“Tentu secara subjektivitas, kami pimpinan dan anggota Komisi II DPR RI karena tugas keseharian kami itu adalah mengurusi urusan kepemiluan, tentu sangat bangga dan terhormat kalau kemudian pembahasannya diletakkan di Komisi II DPR RI,“ tuturnya.
Di sisi lain, Rifqi menyebutkan DPR belum dapat menyampaikan sikap resmi soal putusan MK yang memisahkan waktu penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah karena akan terlebih dahulu menelaah dan mengkajinya.
Hal tersebut, kata dia, berdasarkan hasil rapat Komisi II DPR dengan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad beserta pimpinan komisi terkait dan jajaran pemerintah lainnya yang dilakukan pada Senin pagi.
“DPR belum memberikan sikap resmi, izinkan kami melakukan penelaahan secara serius terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, mereka sepakat untuk menelaah dan mengkaji terlebih dahulu terkait putusan MK soal pelaksanaan pemilu,” tuturnya.
Perludem Ingatkan Urgensi Revisi UU Pemilu Usai Putusan MK
Perludem menegaskan pentingnya revisi UU Pemilu untuk mengimplementasikan putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 tersebut. Peneliti senior Perludem, Heroik Mutaqin Pratama, mengatakan putusan MK itu adalah aspek fundamental yang turunannya harus dibarengi dengan perbaikan tata kelola pemilu.
Perbaikan itu juga mencakup desain sistem kepemiluan RI ke depan. “Jika kita ingin kemudian Pemilu di 2029 ini sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi, tidak perlu menunggu tahun depan, perlu segera sekarang revisi Undang-Undang Pemilu,” ujar Heroik dalam seminar yang digelar secara daring, Sabtu, 28 Juni 2025.
Dia pun menyayangkan rancangan UU Pemilu yang sudah masuk daftar Program Legislasi Nasional Prioritas 2025 tak juga dibahas. RUU Pemilu masuk Prolegnas 2025 atas usulan Badan Legislasi atau Baleg DPR, yang artinya pembahasan mengenai perubahan undang-undang itu mestinya dilakukan tahun ini.
Heroik mengatakan, bila revisi UU Pemilu tidak juga diselesaikan hingga tahun depan, maka penataan skema rekrutmen penyelenggara pemilu bakal berantakan pada 2027.
“Karena kalau hasil dari simulasi kami dengan desain keserentakan nasional lokal ini, di 2027 nanti rekrutmen penyelenggara pemilu nasional KPU dan Bawaslu RI terlebih dahulu selesai. Lalu setelahnya di tahun yang sama KPU dan Bawaslu provinsi di level kabupaten/kota harus dilakukan seleksi juga,” ujarnya.
Namun, dengan skema yang merupakan bagian dari proses transisi itu, penyelenggara pemilu baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang baru dipilih pada 2023 atau 2024 harus mengalami pemotongan masa jabatan. “Memang mau tidak mau harus ada pemotongan masa jabatan di sana, sehingga kemudian nanti tidak akan ada himpitan tahapan,” kata dia.
Maka dari itu, dalam skema transisi yang diajukan Perludem, batas waktu rekrutmen penyelenggara pemilu harus selesai pada 2027. Sementara masa jabatan mereka berakhir pada 2023, atau pasca-pemilu lokal pada 2031. “Sehingga memang perlu sesegera mungkin dilakukan revisi Undang-Undang Pemilu ke depan, dengan menggabungkan paket Undang-Undang Pemilu dengan Undang-Undang Pilkada,” kata Heroik.
Pakar Hukum: Revisi UU Pemilu Harus Akomodasi Pertimbangan Hukum MK
Adapun pakar hukum sekaligus peneliti dari Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand), Sumatera Barat, Ichsan Kabullah, mengingatkan revisi UU Pemilu harus mengakomodasi pertimbangan hukum MK.
“Revisi dimaksud harus mengakomodasi secara utuh amar ataupun pertimbangan hukum (ratio decidendi) putusan-putusan MK,” kata Ichsan di Kota Padang, Senin, menanggapi putusan MK soal pemisahan pemilu.
PUSaKO juga mengingatkan, jika terjadi revisi UU Pemilu, maka juga wajib diselaraskan dengan kerangka hukum nasional dan arah pembangunan demokrasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.
Di saat bersamaan Ichsan mengapresiasi keberanian MK yang mengoreksi desain pemilu serentak yang selama ini dinilai menimbulkan kompleksitas sistemik dalam tata kelola pemilu di Tanah Air.
PUSaKO juga mendorong agar pembentuk undang-undang segera merevisi secara menyeluruh UU Pemilu dan UU Pilkada, karena semakin banyaknya permohonan pengujian undang-undang kepemiluan yang dikabulkan oleh MK.
Menurut Ichsan, kondisi tersebut mencerminkan adanya cacat struktural dalam desain normatif sistem kepemiluan saat ini yang mendesak untuk diperbaiki guna menjamin kepastian hukum, konsistensi pengaturan, serta pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat secara substantif dan berkelanjutan.
Terakhir, PUSaKO merekomendasikan agar reformasi legislasi pada bidang kepemiluan dilakukan melalui pendekatan kodifikasi hukum secara sistematik dan menyeluruh.
Dede Leni Mardianti, Ervana Trikarinaputri, Dian Rahma Fika, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Kontroversi Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah