WACANA penerapan pemungutan suara berbasis digital atau melalui sistem electronic voting atau e-voting untuk pemilu berikutnya kembali mengemuka. Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Romy Soekarno meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) mulai memikirkan transformasi pemilu berbasis digital tersebut pada Pemilu 2029.
“Saya ingin KPU untuk bisa berpikir teknokratik bahwa demokrasi 5.0 itu perlu enggak sih buat Indonesia. Contohnya, transformasi menuju e-voting,” kata Romy dalam keterangan yang diterima di Jakarta pada Selasa, 8 Juli 2025, seperti dikutip dari Antara.
Romy menyampaikan hal itu dalam rapat kerja Komisi II DPR bersama KPU dan Bawaslu di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 7 Juli 2025. Dia menilai penggunaan teknologi dalam pemilu bukan lagi sekadar wacana futuristik, melainkan langkah strategis yang mendesak dilakukan untuk mewujudkan demokrasi yang efisien, transparan, dan lebih minim kecurangan.
Sebab, kata dia, Pemilu 2024 menelan biaya yang tinggi mencapai Rp 71 triliun. Untuk itu, dia mendorong KPU mulai berpikir secara teknokratik menuju “demokrasi 5.0”.
Seperti Apa Penerapan E-Voting dalam Pemilu?
Romy menilai e-voting sudah sangat mungkin diterapkan di Indonesia pada Pemilu 2029. Misalnya, teknologi seperti face recognition atau pengenalan wajah, sidik jari, dan e-KTP bisa dikombinasikan dalam proses verifikasi pemilih di tempat pemungutan suara (TPS).
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini pun memandang pemungutan suara bisa dilakukan melalui tablet yang tersedia di TPS, di mana setiap pemilih yang telah melewati proses verifikasi akan langsung memilih dengan menyentuh layar.
“Setelah memilih, akan tercetak lima lembar bukti suara pemilih, yaitu KPU, Bawaslu, DKPP, Kemendagri, dan saksi partai. Hasil suara akan langsung masuk ke server pusat secara real-time tanpa perlu input manual," tuturnya.
Romy mengatakan penghematan anggaran bisa signifikan dengan hitungan kasar penggunaan tablet dan infrastruktur digital, maka biaya pemilu dapat ditekan menjadi sekitar Rp 52-58 triliun. Selain efisiensi dan aman, dia menilai e-voting mampu menekan berbagai bentuk kecurangan yang selama ini kerap terjadi dalam pemilu konvensional berbasis kertas.
“Karena kan saya melihat zaman dulu itu kertas banyak sekali yang menjadi titik curang sehingga 100 persen dari kecurangan kertas dapat dihindari,” tuturnya.
Legislator dari daerah pemilihan Jawa Timur VI (Blitar, Kediri, dan Tulungagung) itu kemudian menyoroti soal kesiapan infrastruktur pemilu. Dia mengusulkan pembentukan tim kerja tripartit antara KPU, Bawaslu, dan Komisi II DPR guna menyusun peta jalan menuju pelaksanaan e-voting pada Pemilu 2029.
Terakhir, dia juga mendorong uji coba di beberapa provinsi mulai 2027, penyusunan regulasi perlindungan data, penguatan sumber daya manusia (SDM) digital penyelenggara pemilu, serta peningkatan literasi politik digital bagi generasi muda.
Rapat kerja Komisi II DPR bersama KPU dan Bawaslu itu membahas laporan keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari KPU dan Bawaslu tahun anggaran 2024 serta Rencana Kerja Anggaran (RKA) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) untuk tahun 2026.
Pemerintah Tunggu Kesepakatan dengan DPR soal Penerapan E-Voting
Sebelumnya, Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto mengatakan pemerintah membuka peluang menerapkan mekanisme e-voting di Pemilu 2029. Dia menuturkan kesiapan penerapan pencoblosan berbasis teknologi itu akan dimatangkan.
Bima berujar pemilihan kepala desa atau pilkades 2025 akan menggunakan e-voting. Menurut dia, tidak ada permasalahan ihwal infrastruktur untuk menjalankan mekanisme baru itu. “Kalau di desa relatif siap, karena teknologinya sederhana,” kata Bima ditemui usai menghadiri diskusi di kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat, Jakarta, Senin, 19 Mei 2025.
Mantan Wali Kota Bogor ini mengatakan penerapan e-voting di pilkades tahun ini bisa menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah sebelum menerapkan di pemilu. “Nanti di tahapan pilkades berikutnya akan dimaksimalkan sehingga ini menjadi batu loncatan menuju e-voting di tingkat nasional,” ujarnya.
Pada 2024, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mencatat setidaknya ada 27 kabupaten dan 1.752 desa di Indonesia yang telah melaksanakan pilkades secara elektronik atau e-voting.
Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengakui ada perbedaan tantangan dan kesiapan infrastruktur antara penerapan e-voting di desa dan di tingkat nasional. “Di kabupaten atau kota, perlu sistem yang lebih matang. Tapi paling tidak kami ingin coba,” ujarnya.
Meski begitu, dia tidak bisa memastikan apakah penerapan sistem e-voting bakal dilakukan di Pemilu 2029. Sebab, menurut dia, harus ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR.
Adapun wacana penerapan e-voting sempat disarankan oleh Komnas HAM. Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Saurlin P. Siagian menilai sistem berbasis digital itu perlu dipertimbangkan diterapkan di pemilihan presiden ataupun kepala daerah mendatang.
Saurlin menilai e-voting bisa menjadi solusi dalam menyikapi kasus pelanggaran hak asasi yang masih terjadi pada penyelenggaraan pemilu. Dia juga menilai pemanfaatan teknologi bisa meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses pemungutan suara yang dilakukan kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS).
Menurut dia, pemanfaatan teknologi juga mesti diterapkan untuk mencegah kelelahan akibat beban kerja KPPS yang terlalu berat hingga menyebabkan kematian pada Pemilu 2019 dan 2024. “Ke depan (pelaksanaan) pemilu kita harus menggunakan teknologi. E-voting harus jadi pertimbangan ke depan,” ujarnya pada Rabu, 15 Januari 2025.
Novali Panji Nugroho, Ervana Trikarinaputri, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Setelah Prabowo Bertemu Pangeran MBS di Arab Saudi