TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi menunggu tindaklanjut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ihwal putusan MK Nomor 135/PUU-XXII tentang pemisahan penyelenggaraan pemilihan umum di tingkat nasional dan daerah. Kendati sejumlah legislator menilai putusan itu berpolemik, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa putusannya bersifat final dan mengikat.
"Putusan MK kan sudah diucapkan, kami tinggal menunggu kewenangan DPR untuk menindaklanjuti," ujar Sekretaris Jenderal MK Heru Setiawan, saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Rabu, 9 Juli 2025. "Karena DPR juga punya kewenangan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak melanggar Pasal 22E Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945 tentang Pemilu. Enny mengatakan MK telah memberi mandat constitutional engineering atau rekayasa konstitusi kepada DPR dan pemerintah selaku pembuat undang-undang untuk menindaklanjuti putusan soal pemisahan jadwal pemilu nasional dan lokal.
“Tidak ada pelanggaran karena MK juga menegaskan agar pembentuk UU melakukan constitutional engineering terkait dengan peralihannya. sebagaimana misalnya ketentuan peralihan yang pernah diatur dalam UU pilkada yang lalu untuk kepentingan pilkada serentak,” kata Enny, yang juga merupakan juru bicara MK saat dihubungi pada Senin, 7 Juli 2025.
Menurut dia, rekayasa konstitusi dimaksud hanya untuk satu kali pemilihan sebagai konsekuensi masa transisi. Dalam Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan Ketua Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 26 Juni 2025, Mahkamah memutuskan penyelenggaraan pemilu di tingkat nasional terpisah dengan tingkat daerah.
Pemilu nasional mencakup pemilu anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden, sementara pemilu lokal terdiri atas pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala dan wakil kepala daerah. Adapun perkara 135 ini diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem.
Dengan putusan itu, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak” tidak lagi berlaku untuk Pemilu 2029. MK memutuskan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional.
Enny menjelaskan putusan itu sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari putusan MK sebelumnya. Dia menyinggung Putusan Nomor 55 Tahun 2019 yang telah menegaskan keserentakan pemilu. Dalam Putusan 55, MK menegaskan model keserentakan yang dapat ditentukan oleh pembentuk UU, termasuk salah satu modelnya adalah pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal.
Menurut Enny, dengan melihat praktik penyelenggaraan pemilu dan pilkada yang berlangsung 2019, 2024, dan sebagai upaya mewujudkan pemilihan yang lebih demokratis ke depan dengan tetap menjaga keserentakan pemilu, “Maka pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal menjadi hal yang konstitusional.”
Legislator mengkritik putusan MK yang memisahkan jadwal pemilu nasional dan lokal. Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Rifqinizamy Karsayuda menilai MK mengambil alih “tugas konstitusional” DPR dan pemerintah untuk membentuk norma dalam undang-undang.
“Penindaklanjutan dari putusan MK adalah bagian dari pelanggaran konstitusi itu sendiri,” kata Rifqi di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, pada Senin, 7 Juli 2025. Politikus Partai NasDem itu menegaskan pandangan ini merupakan pendapat fraksi, bukan Komisi II maupun institusi DPR.
Rifqi menilai pemisahan pemilu dan pilkada kontradiksi dengan putusan perkara Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang memberi DPR wewenang untuk menentukan 1 dari 6 model keserentakan pemilu. Rifqi menilai MK tidak konsisten dengan putusannya.
Mantan Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menilai putusan MK yang memberikan jeda waktu 2 hingga 2,5 tahun antara pemilu nasional dengan pemilu inkonstitusional. “Saya secara pribadi tidak akan pernah melakukan proses itu,” kata dia soal peluang perpanjangan masa jabatan DPRD imbas putusan MK.