TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menjadwalkan sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) mengenai norma keterwakilan perempuan pada alat kelengkapan dewan (AKD) pada hari ini, Selasa, 8 Juli 2025. Sidang perkara Nomor 169/PUU-XXII/2024 ini beragendakan mendengarkan keterangan DPR serta ahli dan saksi pemohon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam perkara ini para pemohon menilai sejumlah ketentuan dalam UU MD3 telah merugikan hak konstitusional perempuan, khususnya soal keterwakilan dalam alat kelengkapan dewan. Mereka menyoroti minimnya representasi perempuan dalam kepemimpinan AKD periode 2024-2029 yang belum memenuhi ambang batas 30 persen.
Adapun sejumlah pasal yang akan diuji konstitusionalitas yakni Pasal 90 ayat (2), Pasal 96 ayat (2), Pasal 108 ayat (3), Pasal 120 ayat (1), Pasal 151 ayat (2), dan Pasal 157 ayat (1) UU MD3. Para Pemohon meminta agar pasal-pasal tersebut ditafsirkan secara konstitusional untuk menjamin keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen, baik di level pimpinan AKD maupun dalam distribusi anggota fraksi di seluruh badan DPR.
Menurut Pemohon, ketimpangan ini mencerminkan adanya hambatan struktural yang menghalangi partisipasi perempuan secara inklusif dalam politik. Mereka berharap Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal-pasal yang diuji bertentangan dengan UUD 1945 dan menafsirkan ketentuan tersebut secara konstitusional untuk menjamin keterwakilan perempuan dalam struktur parlemen.
Dalam sidang sebelumnya yang dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra, hadir mewakili pemerintah Plt. Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Pemerintahan, Rochayati Basra. Ia menegaskan bahwa sebagai negara hukum, Indonesia menjamin perlindungan hak asasi manusia (HAM), termasuk melalui kebijakan afirmatif untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen sebesar 30 persen.
“Kebijakan afirmatif ini merupakan bentuk perlakuan khusus yang konstitusional, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, serta menjadi bagian dari implementasi konvensi HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia,” ujar Rochayati di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi, Kamis, 26 Juni 2025.
Kendati demikian, ia menekankan bahwa kebijakan afirmatif tidak boleh bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat sebagai pilar utama negara demokrasi. Pemerintah berpandangan bahwa pengisian jabatan di AKD DPR merupakan urusan internal lembaga dan dilakukan secara proporsional berdasarkan komposisi fraksi, bukan dalam rangka menghambat keterwakilan perempuan.