TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai mengatakan bahwa pembela HAM di dunia memang rentan dikriminalisasi. Pigai menyatakan keadaan yang sama juga terjadi di Indonesia. “Itu kita harus akui juga,” kata dia melalui sambungan telepon kepada Tempo pada Senin, 14 Juli 2025.
Pigai menyatakan itu untuk menanggapi laporan Amnesty International Indonesia yang menyebut serangan terhadap pembela HAM terjadi secara masif pada paruh pertama 2025. “Kalau misalnya ada data-data yang dikeluarkan oleh Amnesty International Indonesia sebagai civil society, tidak apa-apa. Itu kondisi yang ada di seluruh dunia. Termasuk di Indonesia,” kata Pigai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun demikian, Pigai mempertanyakan definisi pembela HAM yang menjadi dasar penelitian Amnesty. Mantan Komisioner Komnas HAM ini juga menyangkal bahwa pemerintah telah gagal menghormati upaya perlindungan HAM di Indonesia.
Pigai mengatakan Pemerintah Presiden Prabowo justru berencana memperkuat perlindungan bagi pembela hak asasi manusia melalui rencana Revisi Undang-undang HAM, yang ditargetkan rampung dalam lima tahun ke depan. “Tidak bisa dikatakan bahwa pemerintah membiarkan para pembela HAM mengalami kekerasan atau ketidakadilan. Justru kami melindungi dan memproteksi mereka, “ kata Pigai.
Menurut dia, penyusunan draf revisi UU HAM oleh pemerintah yang melibatkan sejumlah pegiat HAM sudah hampir 70 persen. Dia menambahkan, Revisi UU HAM ke depannya bakal lebih memperjelas definisi pembela hak asasi manusia.
Hari ini Amnesty International Indonesia mengeluarkan laporan tentang serangan terhadap pembela HAM yang terjadi secara masif pada paruh pertama 2025.
Amnesty mencatat, dari periode Januari hingga Juni 2025, setidaknya 104 pembela HAM menjadi korban serangan yang terekam dalam 54 kasus. Puncaknya terjadi pada Mei 2025 ketika 35 pembela HAM menjadi korban serangan.
Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid fakta ini menunjukkan pemerintah gagal menghormati upaya perlindungan HAM di Indonesia. Lembaga Swadaya Masyarakat ini menilai maraknya praktik dan kebijakan otoritarian serta militerisasi ruang sipil menjadi penyebab maraknya serangan terhadap pembela HAM.
Ketika ditanya penyebab serangan terhadap pembela HAM, Pigai menyatakan tidak mau membahasnya. “Saya tidak mau masuk ke wilayah-wilayah perdebatan sipil. Silahkan itu menjadi perdebatan di kalangan mereka,” katanya.
Melalui keterangan tertulis pada Senin, 14 Juli 2025, Amnesty International menyebut lebih dari setengah korban serangan terhadap pembela HAM itu terjadi pada anggota masyarakat adat yang memperjuangkan hak mereka atas tanah dan juga jurnalis yang diserang karena kerja-kerja jurnalistiknya. Masing-masing sebanyak 36 warga masyarakat adat dan 31 jurnalis .
Pembela HAM lain yang turut mengalami serangan yaitu tokoh masyarakat sebanyak 8 orang, nelayan (7), aktivis HAM (4), aktivis mahasiswa (6), aktivis lingkungan (3), akademisi (2), petani (2), aktivis anti-korupsi (1), aktivis buruh (1), advokat (1), guru (1), dan pengungkap rahasia (1).
Dari 53 kasus serangan yang terjadi selama periode Januari hingga Juni 2025, polisi diduga menjadi aktor yang paling banyak menyerang para pembela HAM, yaitu sebanyak 20 kasus. Jumlah tersebut lebih banyak dari yang dilakukan para pelaku lainnya yaitu, di antaranya, perusahaan swasta (7) pegawai pemerintah (3), anggota TNI (1), Satpol PP (2), dan lain-lain.
Amnesty International mencatat lima bentuk serangan terhadap pembela HAM seperti pelaporan ke polisi, penangkapan, kriminalisasi, intimidasi dan serangan fisik serta serangan terhadap lembaga tempat pembela HAM bekerja. “Ini harus segera dihentikan. Pemerintah harus secara terbuka mengutuk serangan, ancaman dan intimidasi terhadap pembela HAM ini,” kata Usman.
Adapun definisi pembela HAM, menurut Amnesty International, adalah mereka yang secara sendiri atau bersama-sama membela dan/atau mendorong penegakan HAM di tingkat lokal, nasional, kawasan atau internasional. Mereka melakukannya melalui cara-cara damai tanpa memantik kebencian atau kekerasan, dan tidak diskriminatif.
Mereka bisa datang dari berbagai kalangan dan bekerja memajukan HAM secara profesional maupun sukarela mulai dari jurnalis, masyarakat adat, pengacara, anggota serikat buruh, pelapor (whistle blower), petani hingga korban dan keluarga korban pelanggaran HAM.
Pilihan Editor: