TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Indonesia dan Malaysia telah mencapai kesepakatan untuk mengelola Blok Ambalat secara bersama-sama. Kesepakatan ini dicapai dalam pertemuan bilateral di Istana Kepresidenan Jakarta pada Jumat dua pekan lalu, 27 Juni 2025. Langkah ini menandai perubahan signifikan dalam penanganan salah satu sengketa maritim paling sensitif antara kedua negara.
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengatakan kerja sama ini adalah cara terbaik untuk menghindari konflik berkepanjangan dan menjaga hubungan baik antar negara bertetangga. "Ambalat itu kita hindari hal-hal yang menyangkut konflik. Kita negara bertetangga sebaiknya kita bertetangga dengan rukun," ujar Sjafrie saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu, 2 Juli 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Sjafrie, pendekatan mutual benefit (manfaat bersama) dan mutual respect (saling menghormati) terhadap kedaulatan negara masing-masing menjadi landasan utama dalam kerja sama ini. Kedua negara pun sepakat membentuk Joint Development Authority untuk mengelola sumber daya alam di wilayah tersebut, terutama minyak dan gas bumi.
Apa Itu Blok Ambalat?
Blok Ambalat adalah wilayah laut seluas sekitar 15.235 kilometer persegi yang terletak di Laut Sulawesi, dekat perbatasan antara Kalimantan Timur, Indonesia, dan Sabah, Malaysia. Secara geografis, kawasan ini berada di ujung utara Kalimantan, tepatnya di wilayah Nunukan, Kalimantan Utara.
Dilansir dari laman Kemenko Polkam, Ambalat begitu penting bukan hanya letaknya yang strategis, tetapi juga potensi besar sumber daya alamnya, terutama minyak dan gas bumi. Diperkirakan cadangan migas di Blok Ambalat bisa dimanfaatkan selama 30 tahun ke depan, menjadikannya wilayah yang sangat berharga secara ekonomi dan geopolitik.
Sengketa wilayah Ambalat antara Indonesia dan Malaysia telah berlangsung sejak lama. Malaysia mengklaim wilayah tersebut berdasarkan peta unilateralnya tahun 1979, yang memasukkan Blok Ambalat ke dalam zona ekonomi eksklusif Malaysia. Sebaliknya, Indonesia menolak klaim ini dengan mengacu pada prinsip hukum laut internasional dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.
Dalam UNCLOS, Indonesia yang merupakan negara kepulauan (archipelagic state) memiliki hak untuk menarik garis pangkal dari pulau terluar dalam menentukan wilayah maritimnya. Sementara itu, Malaysia sebagai negara pantai (coastal state) hanya dapat menggunakan garis pangkal lurus dari pantainya. Perbedaan prinsip inilah yang menjadi dasar konflik.
Tak hanya secara hukum, di lapangan pun terjadi gesekan. Beberapa kali kapal perang kedua negara sempat berhadapan di wilayah Ambalat, memicu ketegangan yang hampir meningkat menjadi konfrontasi militer.
Dikutip dari laman resmi Kementrian ESDM, Indonesia telah memberikan hak pengelolaan Blok East Ambalat kepada Pertamina Hulu Energi (PHE) sejak 2016. Namun eksplorasi migas belum berjalan akibat ketidakjelasan batas wilayah yang tumpang tindih dengan klaim Malaysia dan potensi konflik diplomatik.
Badan Geologi melalui Pusat Survei Geologi (PSG) telah mengidentifikasi sejumlah potensi sistem petroleum di wilayah ini, termasuk di Cekungan Tarakan. Studi ini mencakup analisis geologi dan geofisika (G&G) yang memperkuat argumentasi teknis bahwa wilayah East Ambalat memiliki potensi migas signifikan.