TEMPO.CO, Jakarta - Proses Pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 Tentara Nasional Indonesia menjadi sorotan publik. Sejak disahkan oleh DPR pada 21 Maret 2025 lalu, UU TNI menjadi produk hukum yang paling banyak digugat ke Mahkamah Konstitusi atau MK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lima dari 11 gugatan berlanjut ke sidang lanjutan. Lima gugatan yang berlanjut ke proses persidangan di MK teregistrasi dengan nomor perkara 45, 56, 69, 75, 81/PUU-XXIII/2025. Adapun satu gugatan yang diajukan oleh mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, dicabut oleh pemohon.
Selama proses persidangan berlangsung di gedung Mahkamah Konstitusi, ada beberapa pendapat saksi ahli yang mengatakan bahwa proses pembentukan UU TNI tidak melibatkan partisipasi publik. Pendapat pertama datang dari ahli dengan perkara 56/PUU-XXIII/2025, yaitu Bivitri Susanti.
Bivitri menyoroti minimnya partisipasi publik dalam pembentukan UU TNI. Hal itu ia sampaikan dalam sidang lanjutan uji formil UU TNI di Mahkamah Konstitusi pada Selasa, 1 Juli 2025.
Dalam sidang itu, Bivitri mengatakan mestinya proses pembuatan undang-undang harus sesuai dengan prinsip konstitusional dan tidak terkesan tertutup.
“Kenapa tidak mau diawasi? Kenapa harus buru-buru dan tertutup sampai naskah pun tidak dipublikasikan? Apa ini berarti ada yang ingin disembunyikan? Jawaban konkret mengenai apa yang disembunyikan dari setiap undang-undang pasti membutuhkan analisis tersendiri,” ucap Bivitri Susanti dalam persidangan.
Lebih lanjut, ia mencatat selama periode pemerintahan ini ada tiga peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara ugal-ugalan. Ia menekankan pentingnya keterbukaan dan publikasi dalam proses legislasi.
“Cara pembentukan undang-undang yang kurang partisipasi itu selalu digaungkan dan dipertanyakan, sehingga muncul catatan di masyarakat, kenapa hal ini selalu berulang,” kata dia.
Pendapat kedua datang dari saksi ahli perkara nomor 69/PUU-XXIII/2025 yaitu guru besar hukum tata negara Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harijanti. Susi mengatakan selama proses pembentukan UU ini dilakukan, ia menilai minimnya keterlibatan dan partisipasi publik dalam proses pembentukan UU.
Tidak hanya itu, dia menyinggung ketersediaan naskah akademik menjadi penting agar masyarakat tahu mengenai UU ini. “Minim partisipasi publik serta tidak ada informasi resmi yang dapat diakses secara terbuka sebelum pengesahan bahkan draf RUU TNI tidak tersedia hingga setelah pengesahan dilakukan,” paparnya di ruang sidang MK pada Senin, 1 Juli 2025.
Pendapat ketiga datang dari saksi ahli perkara nomor 75/PUU-XXIII/2025 yaitu Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana. Denny berpandangan proses pembentukan UU TNI minim partisipasi publik.
“Seberapa banyak masyarakat yang tahu dan dilibatkan dalam proses pembentukan UU TNI. Seberapa mudah dokumen dan naskah akademik rancangan undang-undang didapatkan masyarakat? Seberapa transparan proses pembahasan di DPR dapat diakses oleh publik? Apakah publik tahu dan dilibatkan?” ucap Denny yang hadir via online di sidang lanjutan uji formiil UU TNI pada Senin, 7 Juli 2025.
Lebih lanjut, dia juga menyinggung persoalan waktu penyusunan UU TNI. Dia menanyakan faktor utama dari perubahan UU TNI dilakukan pada masa awal Presiden Prabowo Subianto melalui surat Nomor R-12/Pres/02/2025 tertanggal 13 Februari.
Apalagi kata dia, beleid itu pada tanggal 26 Maret 2025 -kurang dari 1,5 bulan, sudah diundang-undangkan. Menurut dia, keputusan tersebut menunjukkan minimnya partisipasi publik. “Faktor waktu yang juga penting dicermati adalah berapa lama suatu pembahasan rancangan undang-undang dilakukan. Logika sederhananya, makin pendek dan kilat, makin sulit diharapkan adanya partisipasi publik yang bermakna," ujarnya.
Adapun pemerintah melalui Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyatakan bahwa proses pembentukan UU TNI sudah melibatkan partisipasi publik. Penyerapan aspirasi telah ditegaskan oleh pemerintah dengan diterbitkannya keterangan Presiden Nomor 1 huruf c angka 3 terkait tahap penyusunan UU TNI.
Supratman mengklaim pemerintah telah membuka ruang partisipasi publik dalam pembentukkan UU TNI dengan seluas-luasnya. "Sudah memenuhi asas dan prinsip yang diatur pada undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," kata Supratman pada persidangan lanjutan gugatan uji formil UU TNI di gedung MK pada Senin, 23 Juni 2025.
Politisi Gerindra itu melanjutkan RUU TNI Perubahan merupakan rancangan yang diajukan berdasarkan urgensi nasional terkait upaya melindungi dan menyelamatkan WNI karena meningkatnya dinamika keamanan regional, penguatan stabilitas pertahanan nasional dan internasional, ancaman militer, nonmiliter, dan hibrida (terorisme dan perang siber).
Selain itu, RUU ini sebagai wujud dari tindak lanjut atas Putusan MK Nomor 62/PUU-XIX/2021 serta keinginan bersama pembentuk Undang-Undang untuk melanjutkan pembentukan UU TNI (UU 3/2025) yang ditandai dengan telah ditugaskannya Komisi I DPR untuk membahas RUU TNI Perubahan.