TEMPO.CO, Jakarta - Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi masuk daftar program legislasi nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2024-2029. DPR tengah menyiapkan naskah akademik untuk menggulirkan kembali revisi ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Komisi bidang Hukum DPR Nasir Djamil mengatakan, usul menggulirkan kembali revisi UU MK diklaim untuk memperbaiki, bukan mengamputasi maupun mengerdilkan kewenangan MK. "Tidak ada kaitan dengan putusan pemisahan pemilu," kata Nasir melalui pesan WhatsApp, Selasa, 8 Juli 2025.
Menurut dia, usul revisi UU MK hanya kebetulan berdekatan waktunya dengan putusan pemisahan penyelenggaraan pemilu. Namun, mengenai sikap DPR yang cenderung resisten, dia mengatakan, hal tersebut adalah dinamika yang wajar di alam demokrasi.
"Kalau ada pro kontra itu kan hal yang lumrah. Tetapi, saya pribadi mengatakan tidak ada upaya untuk mengamputasi kewenangan MK," ujar politikus PKS itu.
Adapun, pada Kamis, 26 Juni 2025, MK mengabulkan permohonan uji materi dalam perkara nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem.
Pada permohonan tersebut, Perludem meminta MK menguji Pasal 1 ayat (1); Pasal 167 ayat (3); dan Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu; serta Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.
Dalam putusannya, MK memerintahkan penyelenggaraan pemilu dilaksanakan secara terpisah untuk tingkat nasional dan daerah. Pemilu nasional diselenggarakan untuk memilih calon presiden dan wakilnya, anggota DPR pusat, serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Sedangkan pemilu daerah dihelat untuk memilih calon kepala daerah dan wakilnya, serta anggota DPRD provinsi maupun kabupaten atau kota. MK memerintahkan pemilu daerah dihelat paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah rampungnya penyelenggaraan pemilu nasional.
Dalam pertimbangan hukumnya MK menyatakan, penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif yang berdekatan dengan waktu pemilihan kepala daerah (pilkada) menyebabkan minimnya waktu bagi rakyat menilai kinerja pemerintahan hasil pemilu presiden dan wakil presiden dan anggota legislatif.
Selain itu, rentang waktu pemilu anggota DPRD dan pilkada serentak membuat isu pembangunan daerah cenderung tenggelam di tengah isu nasional.
Padahal, menurut MK, isu pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota tidak boleh dibiarkan tenggelam di tengah isu nasional yang ditawarkan para kandidat yang bersaing untuk mendapatkan posisi politik di tingkat pusat dalam pemilu anggota DPR dan anggota DPD.
MK juga menyatakan, tahapan pemilu nasional atau daerah dalam rentang waktu kurang dari satu tahun dengan pilkada berimplikasi pada stabilitas partai politik. Implikasi tersebut, menurut MK, dikhawatirkan menyebabkan partai kehilangan kemampuan mempersiapkan kader yang berkompeten untuk mengikuti kontestasi pemilu.
Masa jabatan anggota DPRD di provinsi maupun kabupaten atau kota hasil pemilu legislatif 2024 sejatinya berakhir pada 2029. Namun, konsekuensi putusan ini memunculkan opsi perpanjangan masa jabatan bagi DPRD hingga 2031.
Anggota Komisi bidang Pemerintahan DPR Muhammad Khozin menilai MK telah melampaui batas perihal memutus perkara gugatan. Salah satunya, ialah putusan pemisahan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah.
Dia mengatakan, pembentuk undang-undang sebagaimana konstitusi, adalah DPR dan pemerintah. Sedangkan MK adalah penjaga konstitusi yang tidak semestinya masuk terlalu jauh ke ruang positif legislator.
"(Apa mungkin akan dihidupkan revisi Undang-Undang MK?) Mungkin saja untuk membahas kewenangan," kata Khozin.
Ia mengatakan, apabila tindakan MK yang dianggap kerap melampaui batasnya terus diabaikan oleh DPR dan pemerintah, sikap tersebut dapat menjadi suatu preseden buruk bagi sistem dan tata kelola pembentukan undang-undang.
Karenanya, kata Khozin, harus ada pembahasan untuk menegaskan limitasi kewenangan MK untuk menjaga penjaga konstitusi tetap berada di jalurnya, bukan menjadi pembentuk undang-undang ketiga setelah DPR dan pemerintah.
Dihubungi terpisah, Dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan usul menggulirkan kembali revisi UU MK sarat kepentingan. Ia berpendapat, usulan ini menjadi upaya DPR dan pemerintah untuk menyandera MK.
Menurut dia, klaim tak ada kaitan dengan putusan MK yang memisahkan penyelenggaraan pemilu tak lebih dari sekadar dalih DPR dan pemerintah. Sebab, DPR dan pemerintah acapkali menginginkan agar kepala daerah tidak dilakukan melalui mekanisme pemilihan langsung, melainkan melalui DPRD.
"Karena tidak sesuai dengan keinginan, kemudian dilakukan revisi UU MK. Tentu ini adalah suatu yang merusak konstitusi," kata Feri saat dihubungi, Selasa, 8 Juli 2025.
Ia mengingatkan, revisi UU MK adalah suatu pelanggaran terhadap konstitusi. Alasannya, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan merdeka yang tidak boleh diintervensi oleh kekuasaan lain, termasuk legislatif seperti DPR.
"Peradilan adalah kekuasaan tertinggi untuk melakukan apa itu hukum, bukan DPR. DPR tugasnya membuat UU, bukan merusak kekuasaan kehakiman," ujar Feri.
Terpisah, Dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas lainnya, Charles Simabura mengatakan, alih-alih terus mempersoalan putusan MK, khususnya mengenai masa transisi, DPR lebih baik berfokus untuk mempersiapkan pembahasan revisi UU Pemilu guna menindaklanjuti putusan pemisahan pemilu.
Menurut dia, putusan MK tidak berupaya mengebiri partai politik, melainkan berupaya menguntungkan partai itu sendiri, di sampuing berupaya menyederhanakan penyelenggaraan pemilu yang terdistraksi oleh isu nasional tanpa mengutamakan isu di daerah.
"Jangan hanya berfokus apa harus diperpanjang masa jabatan DPRD. Masih ada persoalan lain dalam kepemiluan ini yang mesti diperbaiki," kata Charles.
Sebelumnya, usul revisi UU MK telah digulirkan DPR sejak September 2022. Kala itu, revisi direncanakan menyasar empat poin, yaitu batas usia minimal hakim konstitusi, evaluasi hakim konstitusi, unsur keanggotaan Majelis Kehormatan MK, dan penghapusan ketentuan peralihan masa jabatan Ketua dan Wakil MK.
Namun, pada rapat paripurna 30 September 2024, DPR sepakat untuk tidak melanjutkan pembahasan revisi UU MK ke tingkat II. Alasannya, DPR memutuskan untuk menjadikan revisi ini sebagai carry over kepada DPR periode 2024-2029.