TEMPO.CO, Jakarta - Hajatan rakyat dalam rangkaian pesta pernikahan putra Dedi Mulyadi, Maula Akbar, dengan Wakil Bupati Garut Luthfianisa Putri Karlin mengakibatkan tiga orang meninggal dan puluhan mengalami luka-luka akibat terinjak-injak kerumunan massa. Tragedi ini terjadi saat kedua mempelai memberikan hiburan dan makanan gratis untuk rakyat di Pendopo Kabupaten Garut pada Jumat, 18 Juli 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua dari tiga korban tewas merupakan warga sipil. Sedangkan satu korban lainnya ialah anggota kepolisian. Ketiga korban tewas telah dimakamkan.
Pesta rakyat di pernikahan anak Gubernur Jawa Barat itu dibanjiri masyarakat yang ingin menikmati sajian hiburan dan hidangan secara gratis. Rizal, perwakilan penyelenggara acara mengatakan warga sudah membludak di pendopo bahkan sebelum acara dimulai.
Menurut dia, panitia penyelenggara acara telah menyiapkan antisipasi dengan mengerahkan sekitar 500 aparat kepolisian. Namun, ujar dia, ratusan aparat keamanan itu kewalahan menertibkan warga yang tak terhitung jumlahnya.
"Sehingga terjadilah peristiwa dorong mendorong yang akhirnya mengakibatkan warga tersenggol, terinjak," kata dia.
Pendiri Nalar Institute, Yanuar Nugroho, megkritik Dedi Mulyadi lantaran melibatkan warga dalam acara pernikahan yang seharusnya bersifat pribadi. Terlebih lagi hajatan yang digelar oleh pejabat publik itu diduga minim perencanaan terhadap crowd control yang memadai.
"Tragedi ini menjadi cermin nyata lemahnya tata kelola publik dalam konteks keramaian massa yang digelar oleh tokoh publik," kata Yanuar saat dihubungi pada Sabtu, 19 Juli 2025.
Tiga orang tewas dalam acara pesta pernikahan anak Dedi Mulyadi ini menunjukkan kelalaian dalam aspek mitigasi risiko. Hal itu tampak dari tidak adanya jalur evakuasi, sistem pengendalian arus masuk dan keluar, hingga medis yang tak sigap merespons situasi.
Padahal, kata dia, sebagai pejabat publik seharusnya penanganan kerumunan sudah menjadi bagian integral dari perizinan dan pelaksanaan acara berskala besar. "Semua itu elemen dasar dari kebijakan keselamatan publik yang harusnya menjadi syarat mutlak bagi kegiatan semacam ini," kata pakar kebijakan publik tersebut.
Namun, menurut dia, hal itu justru diabaikan dalam pesta pernikahan anak Dedi Mulyadi dengan putri Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto.
Selain itu, ujar dia, secara sistemik Dedi Mulyadi telah gagal menghadirkan tata kelola yang berpihak pada keselamatan publik. Yanuar mengatakan, tragedi ini memiliki implikasi yang serius.
"Negara kehilangan legitimasi ketika nyawa rakyat melayang dalam acara yang justru digelar oleh elite kekuasaan," ucapnya.
Dia juga mengkritik cara Dedi Mulyadi dalam memoles citranya ke masyarakat. Tragedi di pesta pernikahan anaknya itu, ujar dia, menunjukkan ada kecenderungan relasi kekuasaan dan kepentingan elektoral yang acapkali dibungkus dalam retorika kedekatan dengan rakyat.
"Ketika ribuan warga berdesakan demi sekotak makanan gratis dari acara pejabat publik, kita menyaksikan bukan hanya kerentanan sosial yang akut, tapi juga bagaimana kekuasaan digunakan untuk membangun simpati," katanya.
Menurut Yanuar, cara-cara seperti itu tidak penting dilakukan. Sebab, yang jauh lebih penting ialah bagaimana seorang pejabat membangun kebijakan yang menjamin kesejahteraan rakyatnya secara berkelanjutan.
Yanuar berpandangan bahwa tragedi yang menewaskan tiga orang di pesta pernikahan anak Dedi Mulyadi patut dipandang sebagai peringatan keras akan rapuhnya tata kelola publik. Ini menyingkap batas tipis antara "kekuasaan yang melayani" dan "kekuasaan yang mempertontonkan".
"Kita berhadapan dengan absennya standar keselamatan, lemahnya pengawasan, dan digunakannya acara publik sebagai panggung politik," kata Deputi Kepala Staf Kepresidenan 2015-2019 itu.
Padahal, Yanuar melanjutkan, seharusnya acara publik digunakan sebagai panggung pelayanan dari pemerintah untuk masyarakat. Dia mendorong agar tragedi di pesta pernikahan anak Dedi Mulyadi itu tidak dibiarkan berlalu tanpa proses pemeriksaan yang tuntas.
Negara, kata dia, juga tidak boleh membiarkan politik pertunjukan menggantikan kebijakan yang semestinya berbasis pada keberpihakan dan akal sehat. "Karena pada akhirnya, politik bukan soal keramaian, tapi soal siapa yang dilindungi dan siapa yang dikorbankan," ucap Yanuar.
Dalam keterangannya, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengklaim tidak pernah menyetujui kegiatan hiburan dan makan gratis untuk rakyat dalam pesta pernikahan anaknya tersebut. Dia mengaku sempat melarang dilaksanakannya kegiatan itu. "Acara makan bersama warga ini saya termasuk dua kali melarang," kata Dedi.
Menurut dia, tidak perlu melakukan kegiatan yang melibatkan warga dalam rangkaian acara pernikahan. Sebab, ujar dia, jumlah masyarakat yang akan hadir tidak akan bisa terprediksi.
Dedi berujar bakal bertanggung jawab terhadap tragedi yang terjadi di pesta pernikahan anaknya tersebut. "Sebagai orang tua saya harus bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan oleh anak dan menantu," kata mantan Bupati Purwakarta ini.
Dedi mengatakan akan memberikan uang duka sebesar Rp150 juta kepada keluarga korban kericuhan pesta pernikahan. Dia berjanji akan menanggung kehidupan keluarga korban dan menanggung pendidikan anak korban sampai perguruan tinggi.
Yanuar mengkritik respons mantan Bupati Purwakarta itu dalam menyikapi tragedi yang menewaskan tiga orang dalam acara yang dibuat oleh anak orang nomor satu di Jawa Barat tersebut. Menurut dia, sikap itu menunjukkan adanya pola hubungan yang tidak setara antara penguasa dan warga.
Seharusnya, kata dia, Dedi Mulyadi sedari awal mengutamakan perbaikan sistemik ketimbang bantuan sementara. "Kedekatan pada warga yang ditampilkan bukan bentuk kepedulian berbasis kebijakan, tapi relasi transaksional," ujarnya.
Dia mengatakan relasi transaksional itu justru memperlemah kapasitas warga sebagai subyek pembangunan itu sendiri. Yanuar mendorong tragedi ini tak hanya berhenti pada tanggung jawab akan moralitas individu. Melainkan harus diwujudkan dalam kepatuhan aturan, transparansi dalam pelaksanaan, dan penghormatan pada keselamatan publik.