TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah akademisi mengkritik sikap DPR yang berencana membawa revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) ke pembahasan tingkat II alias disahkan menjadi undang-undang baru di rapat paripurna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dosen hukum tata negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura, menilai rencana tersebut sarat kepentingan kekuasaan. Ia mengatakan revisi ini amat kental upaya mengamputasi kewenangan MK, khususnya dalam memutus perkara yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu.
"Yang cukup pelik, DPR menyampaikan ini (RUU MK) tinggal disahkan. Padahal statusnya adalah carry over," kata Charles saat dihubungi pada Rabu, 9 Juli 2025.
Dia menjelaskan, Pasal 71A Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Pasal 110 Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undang mengatur eksplisit ihwal UU yang diwariskan tersebut.
Pasal 110 ayat (3) Peraturan DPR, kata dia, misalnya, menyebutkan RUU warisan yang ditetapkan dalam program legislasi nasional atau prolegnas dilanjutkan pembahasannya dalam pembicaraan tingkat I dengan menggunakan surat presiden dan daftar inventaris masalah (DIM) kepada DPR periode sebelumnya.
Namun, Wakil Ketua DPR Adies Kadir, menyatakan jika UU MK telah direvisi oleh DPR periode lalu. Adies yang saat itu bertugas sebagai ketua panitia kerja revisi UU MK mengatakan, pembahasan saat itu telah melakukan revisi, sehingga UU MK kini tinggal dibawa ke pembahasan tingkat II.
Masalahnya, kata Charles, kendati telah dilakukan revisi oleh DPR periode lalu, legislator periode saat ini tidak secara otomatis dapat melanjutkan pembahasan ke rapat paripurna. Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2020 secara jelas memberi ruang kepada DPR untuk membahas RUU MK lebih lanjut.
"Di Pasal 110 ayat (3) ditegaskan, RUU carry over tidak otomatis ke tingkat II," ujar dia.
Guru besar hukum tata negara dari Universitas Jenderal Soedirman, Muhammad Fauzan, sependapat dengan Charles. Ia mengatakan, sebagaimana ketentuan di Peraturan DPR, pembentuk undang-undang diminta agar lebih partisipatif dan transparan dalam membahas kelanjutan RUU carry over.
Di sini, kata dia, sebagaimana Pasal 110 ayat (7) Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2020, Badan Musyawarah bisa menugaskan alat kelengkapan dewan untuk membahas kembali DIM RUU MK yang telah disetujui oleh DPR periode sebelumnya.
"Kalau ditafsirkan, artinya DPR diminta untuk membuka kembali pembahasan DIM RUU MK, bukan langsung membawanya ke paripurna," ujar Fauzan.
Adapun usul revisi UU MK kembali digulirkan DPR setelah MK memutus penyelenggaraan pemilu. Usul tersebut sebelumnya muncul pada September 2022. Kala itu, revisi direncanakan menyasar empat poin, yaitu batas usia minimal hakim konstitusi, evaluasi hakim konstitusi, unsur keanggotaan Majelis Kehormatan MK, dan penghapusan ketentuan peralihan masa jabatan Ketua dan Wakil MK.
Namun, pada rapat paripurna 30 September 2024, DPR sepakat untuk tidak melanjutkan pembahasan revisi UU MK ke tingkat II. Alasannya, DPR memutuskan untuk menjadikan revisi ini sebagai carry over kepada DPR periode 2024-2029.
Anggota komisi bidang pemerintahan DPR, Muhammad Khozin, menilai MK telah melampaui batas perihal memutus perkara gugatan. Salah satunya ialah putusan pemisahan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah.
Dia mengatakan, pembentuk undang-undang sebagaimana konstitusi, adalah DPR dan pemerintah. Sedangkan MK adalah penjaga konstitusi yang tidak semestinya masuk terlalu jauh ke ruang positif legislator.
"(Apa mungkin akan dihidupkan revisi Undang-Undang MK?) Mungkin saja untuk membahas kewenangan," kata Khozin pada Jumat, 4 Juli 2025.
Ia mengatakan, apabila tindakan MK yang dianggap kerap melampaui batasnya terus diabaikan oleh DPR dan pemerintah, sikap tersebut dapat menjadi suatu preseden buruk bagi sistem dan tata kelola pembentukan undang-undang.
Karenanya, kata Khozin, harus ada pembahasan untuk menegaskan limitasi kewenangan MK untuk menjaga penjaga konstitusi tetap berada di jalurnya, bukan menjadi pembentuk undang-undang ketiga setelah DPR dan pemerintah.
Kemarin, anggota Komisi bidang Hukum DPR Nasir Djamil mengatakan usul menggulirkan kembali revisi UU MK dilakukan DPR dengan tujuan memperbaiki, bukan mengamputasi maupun mengerdilkan kewenangan MK.
"Tidak ada kaitan dengan putusan pemisahan pemilu," kata Nasir melalui pesan WhatsApp pada Selasa, 8 Juli 2025.
Menurut dia, usul revisi UU MK hanya kebetulan berdekatan waktunya dengan putusan pemisahan penyelenggaraan pemilu. Namun, mengenai sikap DPR yang cenderung resisten, dia mengatakan, hal tersebut adalah dinamika yang wajar di alam demokrasi.
"Kalau ada pro-kontra itu kan hal yang lumrah. Tetapi, saya pribadi mengatakan tidak ada upaya untuk mengamputasi kewenangan MK," ujar politikus PKS itu.
Pada Kamis, 26 Juni 2025, MK mengabulkan permohonan uji materi dalam perkara nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem.
Pada permohonan tersebut, Perludem meminta MK menguji Pasal 1 ayat (1); Pasal 167 ayat (3); dan Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu; serta Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.
Dalam putusannya, MK memerintahkan penyelenggaraan pemilu dilaksanakan secara terpisah untuk tingkat nasional dan daerah. Pemilu nasional diselenggarakan untuk memilih calon presiden dan wakilnya, anggota DPR pusat, serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Sedangkan pemilu daerah dihelat untuk memilih calon kepala daerah dan wakilnya, serta anggota DPRD provinsi maupun kabupaten atau kota. MK memerintahkan pemilu daerah dihelat paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah rampungnya penyelenggaraan pemilu nasional.
Dalam pertimbangan hukumnya MK menyatakan, penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif yang berdekatan dengan waktu pemilihan kepala daerah (pilkada) menyebabkan minimnya waktu bagi rakyat menilai kinerja pemerintahan hasil pemilu presiden dan wakil presiden dan anggota legislatif.
Selain itu, rentang waktu pemilu anggota DPRD dan pilkada serentak membuat isu pembangunan daerah cenderung tenggelam di tengah isu nasional.
Padahal, menurut MK, isu pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota tidak boleh dibiarkan tenggelam di tengah isu nasional yang ditawarkan para kandidat yang bersaing untuk mendapatkan posisi politik di tingkat pusat dalam pemilu anggota DPR dan anggota DPD.
MK juga menyatakan, tahapan pemilu nasional atau daerah dalam rentang waktu kurang dari satu tahun dengan pilkada berimplikasi pada stabilitas partai politik. Implikasi tersebut, menurut MK, dikhawatirkan menyebabkan partai kehilangan kemampuan mempersiapkan kader yang berkompeten untuk mengikuti kontestasi pemilu.
Masa jabatan anggota DPRD di provinsi maupun kabupaten atau kota hasil pemilu legislatif 2024 sejatinya berakhir pada 2029. Namun, konsekuensi putusan ini memunculkan opsi perpanjangan masa jabatan bagi DPRD hingga 2031.
Daniel Fajri berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan editor: Pelesiran Istri Menteri UMKM Jadi Perhatian Pemerintah