TEMPO.CO, Jakarta - Pembahasan revisi Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP bergulir di Dewan Perwakilan Rakyat. Pada Selasa, 8 Juli 2025, Komisi Hukum DPR bersama Kementerian Hukum dan Kementerian Sekretariat Negara menggelar rapat kerja perdana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam agenda rapat hari itu, Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej menyerahkan naskah daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU KUHAP secara resmi.
“Rapat hari ini dalam rangka pembicaraan tingkat satu membahas RUU tentang Hukum Acara Pidana, karena kuorum fraksi sudah terpenuhi, rapat ini kami nyatakan terbuka untuk umum,” ujar Ketua Komisi III DPR Habiburokhman di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, pada Selasa, 8 Juli 2025.
Namun pada hari yang sama, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP merilis draf tandingan sebagai bentuk perlawanan terhadap revisi KUHAP versi DPR dan pemerintah. Draf RUU KUHAP itu disusun secara kolektif oleh puluhan organisasi atau lembaga pegiat hukum.
Adapun beberapa organisasi yang terlibat meliputi Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Amnesty International Indonesia, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), hingga Indonesia Corruption Watch (ICW).
Koalisi menilai bahwa selama proses legislasi, draf resmi RUU KUHAP telah menunjukkan kecenderungan otoritarian, memperluas kewenangan aparat tanpa kontrol efektif, dan mengecilkan peran korban, pendamping hukum, serta warga negara dalam proses peradilan pidana. Koalisi menyebut draf yang mereka susun itu sebagai “kontrapropaganda hukum” atas legislasi bermasalah.
Peneliti Kontras, Hans Giovanny Yosua, mengatakan prosedur penegakan hukum yang berkaitan dengan tindak pidana perlu diatur dengan hati-hati supaya tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia.
“Supaya dalam prosesnya tidak terjadi pelanggaran hak warga negara, dan tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam proses penegakan hukum pidana,” kata Hans melalui keterangan video yang diunggah secara kolaboratif pada akun Instagram @sahabaticw, @lbh_jakarta, dan @kontras_update, Jumat, 11 Juli 2025. Hans telah memberikan izin kepada Tempo untuk mengutip pernyataannya.
Koalisi pun mendorong adanya keseimbangan atau check and balances dalam proses penegakan hukum. Selain itu, menurut Hans, perlu juga adanya pengawasan pengadilan (judicial scrutiny).
“Misalnya dalam proses upaya paksa yang dilakukan, agar proses tersebut tidak menyebabkan terjadinya tindakan-tindakan seperti penyiksaan atau bentuk-bentuk kekerasan lain kepada warga negara, khususnya kepada mereka yang kemudian menjadi tersangka tindak pidana,” tutur Hans.
Draf tandingan yang disusun Koalisi ini diklaim sebagai narasi tandingan dan bisa memberikan gambaran aturan yang lebih ideal mengenai hukum acara pidana. Koalisi mengedarkan draf tandingan itu di laman reformasikuhap.id.
Menurut Koalisi, draf yang berisi 225 halaman itu telah disusun dengan mengusung prinsip perlindungan hak-hak dasar bagi tersangka, terdakwa, korban, saksi, hingga penyandang disabilitas; pengawasan ketat terhadap upaya paksa melalui Hakim Komisaris yang independen; penguatan akses terhadap bantuan hukum dan keadilan restoratif; mekanisme keberatan dan pemulihan hak bagi korban penyalahgunaan wewenang; dan pembaruan sistem peradilan pidana yang demokratis, transparan, dan akuntabel.
“Draf ini juga kemudian harus saya katakan sebagai buah kerja dari teman-teman organisasi masyarakat sipil yang selama ini sudah cukup lama, cukup panjang jangka waktunya, dalam melakukan advokasi kebijakan hukum acara pidana,” ujar Hans.
Sementara itu, dalam pernyataan resmi bersama, Koalisi berpandangan ada kepentingan yang besar untuk perlindungan hak warga negara dari ancaman penyalahgunaan kekuasaan melalui hukum acara pidana. Maka dari itu, draf tandingan disusun untuk mengakomodir terjaminnya due process of law dan perlindungan hak asasi manusia.
“Pada berbagai kesempatan Koalisi mengingatkan pentingnya materi muatan RUU KUHAP secara komprehensif menghormati dan memenuhi hak warga negara yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana dalam kapasitas sebagai pelapor/pengadu, saksi, korban, ahli, tersangka/terdakwa,” tulis Koalisi dalam keterangan resmi pada Rabu, 9 Juli 2025.
Revisi KUHAP, menurut mereka, semestinya disusun secara cermat dan hati-hati sehingga mampu menjawab permasalahan jaminan perlindungan HAM yang gagal dipenuhi dalam KUHAP lama. Koalisi menilai RUU KUHAP 2025 belum memenuhi hal tersebut. Mereka bahkan berpendapat RUU ini lebih buruk dari draf RUU KUHAP 2012.
“Kami mencermati proses penyusunan dan pembahasan RUU KUHAP cenderung memiliki pola yang sama seperti penyusunan dan pembahasan RUU bermasalah lainnya,” kata Koalisi.
Sejumlah produk legislasi bermasalah yang dimaksud ialah revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), UU Tentara Nasional Indonesia (TNI), hingga UU Cipta Kerja (Omnibus Law).
“Hal tersebut menjadi bagian dari strategi sistemik untuk melemahkan demokrasi. Legislasi tak lagi bertujuan untuk melindungi rakyat, namun menjadi alat penguasa,” tutur Koalisi.
Adapun Ketua Komisi Hukum DPR Habiburokhman telah angkat bicara soal draf tandingan dari Koalisi Masyarakat Sipil. Dia mempersilakan Koalisi untuk menyusun draf tandingan.
“Ya silakan, masukan ke sini ya. Kalau mau bikin draf undang-undang, jadi anggota DPR gitu loh,” kata politikus Partai Gerindra itu di Kompleks Parlemen, Senayan, pada Kamis, 10 Juli 2025.
Tak hanya itu, Habiburokhman juga membantah tudingan bahwa penyusunan RUU KUHAP selama ini minim partisipasi publik. Dia mengklaim bahwa proses penyusunan RUU KUHAP sudah berlangsung secara terbuka.
“Dari sejak awal ya, termasuk orang yang ngomong kami ini partisipasi omong kosong. Mereka sudah kami undang. Lebaran, masih suasana Lebaran kami undang kok,” kata Habiburokhman.
Menurut dia, pasal-pasal yang tercantum dalam RUU KUHAP berasal dari masukan masyarakat. Ia menjelaskan bahwa Komisi Hukum DPR telah mendengar masukan dari 53 pihak dengan beragam latar belakang untuk penyusunan KUHAP. Hingga saat ini dia mengklaim DPR dengan pemerintah telah membahas 1.676 daftar invetaris masalah. Rinciannya, sebanyak 1.091 pasal dipertahankan, 68 pasal diubah, 91 pasal lama dihapus, 131 pasal baru, dan 256 perubahan redaksional.
Dia tak setuju dengan anggapan bahwa partisipasi bermakna yang digaungkan DPR dalam penyusunan RUU KUHAP sebatas retorika belaka. Ia pun mempersilakan publik untuk menilai apakah Parlemen sudah benar-benar menjalankan prinsip itu. "Pasal-pasal yang masuk ini ini adalah pasal dari masyarakat semua loh. Jadi silakan masyarakat menilai, kami yang omong kosong atau mereka yang omong kosong," tutur dia.
Oyuk Ivani Siagian dan Dian Rahma Fika berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan editor: Cara Mengurus Akta Kematian