TEMPO.CO, Jakarta - Yasinta Moiwend, masyarakat adat dari suku Marind, mengadu langsung kepada Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak-Hak Masyarakat Adat, Albert Kwokwo Barume, ihwal perampasan tanah akibat proyek strategis nasional (PSN). Mama Yasinta—begitu Yasinta biasa disapa—hadir dalam kunjungan informal pelapor khusus PBB di Jayapura, Provinsi Papua, pada 4 hingga 5 Juli 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yasinta telah menyuarakan penolakan proyek food estate di Merauke, Papua Selatan, sejak 2024. Menurut kesaksian Yasinta, PSN telah merampas wilayah adat warisan leluhur masyarakat Papua.
“Tanah yang digusur itu ibu kami. Tuhan sudah sediakan tanah untuk kami makan dan minum dari tanah itu,” ucap Yasinta kepada Barume, di Distrik Heram, Kota Jayapura, Papua, pada Jumat, 4 Juli 2025. "Kami lahir, kami menginjakkan kaki di tanah itu, kami mengolah tanah untuk dapat makan dan minum dari sana."
Namun, rawa-rawa untuk mencari makan itu kini sudah digusur habis. Berdasarkan laporan Tempo berjudul “Masyarakat Adat Marind-Anim Papua: Gerilya Menentang Proyek Food Estate Merauke”, hutan rawa sekitar 7 kilometer di arah barat rumah Yasinta, di Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, dibabat untuk penyiapan lahan cetak sawah Merauke.
Padahal tanah, bagi Yasinta, adalah sumber kehidupan. “Tanah adalah rekening kami. Tanah adalah bank kami. Kalau tanah itu sudah tidak ada, kami mau makan apa?” tutur dia. “Pemerintah Indonesia melakukan kejahatan untuk orang Papua, dari Sorong sampai Merauke,” ujar Yasinta kemudian.
Yasinta pun mengkhawatirkan kelangsungan hidup masyarakat Papua. Ia menilai perampasan lahan adat demi PSN bisa mengancam kehidupan generasi-generasi selanjutnya.
Sebab hasil dari tanah dan hutan seharusnya dipakai untuk membiayai kehidupan, termasuk kepentingan pendidikan bagi anak-anak mereka. Yasinta berharap kehadiran Barume bisa menjadi jawaban dari permasalahan yang dihadapi masyarakat adat Papua.
Albert Kwokwo Barume, pelapor khusus PBB untuk isu masyarakat adat, melawat ke Jayapura, Provinsi Papua, pada 4 hingga 5 Juli 2025. Dalam pertemuan dua hari yang difasilitasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini, Barume menampung dan mencatat keluh kesah masyarakat adat Papua yang terdampak proyek strategis nasional.
Sebagai pelapor khusus, dia bisa melakukan kunjungan resmi (official visit) dan tidak resmi (unofficial visit). Lawatan ke Papua ini merupakan kunjungan tak resmi yang disebut juga sebagai “kunjungan akademik”. Perbedaan dari kedua jenis kunjungan tersebut, ia menuturkan, adalah bila berkunjung tanpa adanya undangan resmi dari pemerintah negara yang bersangkutan, maka yang bisa ia lakukan selama kunjungan itu cukup terbatas.
“Hal yang berbeda adalah ketika Anda melawat ke negara tanpa pemerintah menerima Anda, ada hal yang tidak bisa Anda katakan dan ada hal yang tidak bisa Anda lakukan,” ucap Barume di hadapan masyarakat adat Orang Asli Papua (OAP), di Jayapura, Papua, pada Jumat, 4 Juli 2025.
“Tapi saya bisa mendengar saya bisa melihat, dan saya pikir itu cukup,” kata dia kemudian.
Pada unofficial visit seperti ini, Barume tidak dapat memberikan komentar atas situasi negara. Artinya, dia memiliki keleluasaan untuk melihat kondisi dan mendengar pengalaman masyarakat adat, tetapi tidak untuk melakukan penilaian terhadap pemerintah.
Albert pun mendorong masyarakat adat yang hadir untuk bicara dengan dirinya mengenai kondisi yang selama ini mereka alami. “Jika Anda bertanya tentang Indonesia, saya tidak akan dapat menjawab. Tetapi Anda dapat mengatakan apa saja karena Anda lebih bebas daripada saya,” kata dia.