TEMPO.CO, Jakarta - Sekelompok mahasiswa, akademisi, advokat, organisasi masyarakat sipil, dan individu dari berbagai latar belakang yang tergabung dalam Aliansi Reformasi KUHAP menggelar unjuk rasa di depan Gerbang Pancasila, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 22 Juli 2025.
“Aksi ini dilakukan untuk menolak pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang dinilai cacat secara prosedural dan substansial,” tulis pernyataan bersama Aliansi Reformasi KUHAP pada Selasa, 22 Juli 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aliansi menilai proses penyusunan RKUHAP yang tengah dibahas oleh DPR dan pemerintah berlangsung tidak transparan, tidak partisipatif, serta gagal menjamin perlindungan hak asasi manusia. Dalam aksinya, mereka menyuarakan empat sikap utama:
Pertama, menolak pengesahan RKUHAP jika proses pembahasannya tetap mengabaikan partisipasi publik dan draf akhirnya masih menyimpan persoalan substansial. Aliansi menilai pembahasan sejauh ini berlangsung terburu-buru dan minim pelibatan korban, kelompok rentan, serta masyarakat sipil.
Kedua, mendesak perombakan total tim perumus RKUHAP. Mereka menilai tim yang ada saat ini gagal menghadirkan regulasi yang berpihak pada keadilan dan hak asasi manusia.
Ketiga, meminta agar pembahasan ulang RKUHAP dilakukan secara mendalam, terbuka, dan berbasis kajian akademik yang kuat. Mereka menolak pendekatan formalistik yang menjadikan RKUHAP sekadar pelengkap dari berlakunya KUHP baru.
Keempat, menuntut agar pemerintah dan DPR mengakomodasi seluruh masukan dari masyarakat sipil. Termasuk, ihwal ketimpangan kewenangan aparat, absennya mekanisme pengawasan terhadap tindakan paksa, serta lemahnya perlindungan hukum bagi kelompok rentan.
“Alih-alih menjadi terobosan hukum acara pidana yang modern, RKUHAP ini justru memperkuat impunitas dan membuka celah pelanggaran HAM,” tulis aliansi dalam pernyataan resminya.
Mereka juga merinci 15 poin kelemahan substansi dalam draf RKUHAP. Di antaranya kewenangan penyidikan yang terlalu luas bagi kepolisian dan TNI, lemahnya hak atas bantuan hukum, serta tidak adanya mekanisme checks and balances dalam penggunaan upaya paksa.