INFO NASIONAL - Desa Wawoangi di Sampolawa, Buton Selatan, Sulawesi Tenggara, menyimpan jejak peradaban Islam di Kerajaan Buton. Di desa ini terdapat sebuah masjid yang dibangun pada abad ke-15 oleh Syekh Abdul Wahid.
Bangunan Masjid Wawoangi memadukan gaya arsitektur Islam dan Kerajaan Buton. Berdiri di atas lahan seluas sekitar 440 meter persegi dengan luas bangunan 12 x 9 meter persegi. Atapnya terbuat dari kayu jati, tiang-tiang penyangga dari kayu ulin, dan dindingnya dari bilah bambu. Bangunan masjid ditopang pondasi dari susunan batu gamping.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masjid Wawoangi dikenal dengan masjid di atas angin karena berada di atas bukit. Dalam Bahasa setempat (bahasa Cia-cia), Wawoangi berarti di atas angin. Dari bukit ini, pengunjung dapat menyaksikan sejumlah pulau kecil d Laut Banda.
Seusai mendirikan masjid di Wawoangi, Syekh Abdul Wahid melanjutkan syiar Islam ke Kota Baubau, ibu kota Kerajaan Buton saat itu. Sang ulama dikenal memiliki peran besar atas perubahan sistem pemerintahan Kerajaan Buton menjadi Kesultanan Buton.
Kepala Desa Wawoangi La Ode Abdul Halim menuturkan keaslian bangunan Masjid Wawoangi tetap lestari kendati telah beberapa kali direnovasi. Hingga kini, masjid yang masuk kategori bangunan cagar budaya sejak 2023, itu masih digunakan sebagai tempat ibadah.
Di dalam kawasan masjid terdapat makam Sultan ke-7 La Saparagau dan ayahnya Sangia Rauro atau La Galunga. "Tak sedikit pengunjung yang datang untuk sekadar memanjatkan doa," ujarnya.
Desa Wawoangi telah ditetapkan sebagai desa wisata oleh Kementerian Pariwisata pada 2021. Pada tahun yang sama, Desa Wisata Wawoangi meraih juara 3 Anugerah Pesona Indonesia (API). Sejak itu, Wawoangi terus berbenah. Tak hanya mengandalkan pamor Masjid Wawoangi, masyarakat mulai mengembangkan objek wisata bahari dengan membangun Jembatan Lapili Wawoangi, sebuah jembatan lingkar di atas laut.
Usaha itu berbuah manis. Angka kedatangan wisatawan di Desa Wawoangi meningkat. Jumlah kunjungan tertinggi terjadi pada 2021-2022. Dalam sehari, wisatawan yang datang mencapai 800 orang. Warga Desa Wawoangi, Alirman mengatakan peningkatan kunjungan pelancong turut mendongkrak perekonomian penduduk lokal.
Sekitar 14 kilometer dari Desa Wawoangi, terdapat Patung Gajah Mada, Mahapatih Kerajaan Majapahit. Patung itu berdiri kokoh di puncak Gunung Ombo, Kelurahan Majapahit, Kecamatan Batauga. Di sebelah timur Gunung Ombo, terdapat situs makam kuno yang diyakini sebagai makam Gajah Mada dan pengikutnya. Situs makam kuno itu dinaungi sebuah pohon beringin dan di sekitarnya tumbuh subur pohon-pohon maja.
Kisah tentang kedatangan rombongan Gajah Mada di Buton Selatan diwariskan secara turun-temurun. Menurut cerita itu, Gajah Mada menginjakkan kaki di Batauga bersama 40 pengikutnya. Rombongan itu kemudian membangun permukiman di atas bukit. Mereka tinggal di sana hingga akhir hayat dan hanya menyisakan makam-makam.
Kepala Dinas Pariwisata Buton Selatan Laode Herwanto mengatakan situs makam kuno itu kini menjadi destinasi wisata religi. Umat Hindu yang bermukim di sekitar Kota Baubau kerap berkunjung untuk berziarah. Tak sedikit juga pengunjung yang sekadar mengobati rasa penasaran akan keberadaan makam Gajah Mada di tanah Sulawesi.
Situs makam kuno ini menjadi destinasi wisata andalan Buton Selatan. Setiap tahun Pemerintah Kabupaten Buton Selatan menggelar Festival Sio Sakaba Kaba yang berarti sembilan pusaka dan silat tradisional masyarakat Buton. "Festival dirangkaikan dengan napak tilas perjalanan Gajah Mada dari Nusa Tenggara kemudian masuk Pulau Siompu hingga menginjakkan kaki di Batuga," katanya.
Menurut Herwanto, Gajah Mada sempat mengajarkan tarian perang kepada masyarakat lokal. Namanya Tari Fomani. "Sampai sekarang penduduk Pulau Siompu masih melakukan tarian itu," ujarnya. (*)