TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi V DPR Fraksi Gerindra, Supriyanto, mengkritik keras putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan lomal. Supriyanto menilai putusanitu bertentangan dengan konstitusi dan berpotensi merusak siklus demokrasi Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Supriyanto menyoroti implikasi jeda waktu imbas putusan tersebut. Menurut dia, pemilihan anggota DPRD yang tidak lagi berlangsung setiap lima tahun sekali bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur pemilu lima tahunan untuk memilih presiden, wakil presiden, DPR, DPD, dan DPRD.
"MK seharusnya fokus pada perannya sebagai pengawal konstitusi, bukan pembentuk norma baru,” kata Supriyanto dikutip dari keterangan tertulis pada Senin, 7 Juli 2025. "MK seharusnya menjaga demokrasi, bukan justru membuat keputusan yang membingungkan."
Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, Ahmad Muzani, sebelumnya juga menentang putusan MK soal pemisahan pemilu nasional dan lokal. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat itu menilai keputusan Mahkamah ini berpotensi mengacaukan desain pemilu yang sebelumnya telah ditetapkan MK sendiri melalui putusan tentang pemilu serentak.
Partai Gerindra memandang perubahan ini akan menciptakan ketidakpastian hukum dan kebingungan dalam pelaksanaan pemilu ke depan. Muzani secara khusus menyoroti pelaksanaan pilkada dan pemilihan DPRD yang dilakukan dua setengah tahun setelah pemilihan presiden dan DPR. Anggota Komisi I DPR ini menilai situasi ini berpotensi bertentangan dengan ketentuan konstitusi.
“Pertanyaannya, apakah keputusan ini tidak justru bertentangan dengan UUD 1945 yang menegaskan pemilihan dilakukan setiap lima tahun?” kata Muzani pada Sabtu, 5 Juli 2025, dikutip dari situs resmi Gerindra.
Dalam Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo pada Kamis, 26 Juni 2025, mahkamah memutuskan penyelenggaraan pemilu di tingkat nasional terpisah dengan tingkat daerah. Pemilu nasional mencakup pemilu anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden, sementara pemilu lokal terdiri atas pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala dan wakil kepala daerah. Adapun perkara 135 ini diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem.
Dengan putusan itu, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak” tidak lagi berlaku untuk Pemilu 2029. MK memutuskan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional.
Senyampang putusan soal pemisahan pemilu nasional dan lokal yang baru, MK merekomendasikan pembentuk undang-undang memutuskan perihal pengaturan masa transisi/peralihan masa jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah hasil pemilihan pada tanggal 27 November 2024. Mahkamah juga meminta pemerintah dan DPR mengatur masa jabatan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota hasil pemilihan pada tanggal 14 Februari 2024.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi atau MK tidak melanggar Pasal 22E Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945 soal Pemilu. Enny mengatakan MK telah memberi mandat constitutional engineering atau rekayasa konstitusi kepada DPR dan Pemerintah selaku pembuat undang-undang untuk menindaklanjuti putusan soal pemisahan pemilu nasional dan lokal.
“Tidak ada pelanggaran karena MK juga menegaskan agar pembentuk UU melakukan constitutional engineering terkait dengan peralihannya. sebagaimana misalnya ketentuan peralihan yang pernah diatur dalam UU pilkada yang lalu untuk kepentingan pilkada serentak,” kata Enny, yang juga merupakan juru bicara MK, kepada Tempo pada Senin, 7 Juli 2025. Menurut dia, rekayasa konstitusi dimaksud hanya untuk satu kali pemilihan sebagai konsekuensi masa transisi.
Enny menjelaskan putusan itu sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari putusan MK sebelumnya. Di menyinggung Putusan Nomor 55 Tahun 2019 yang telah menegaskan keserentakan pemilu. Dalam Putusan 55, MK menegaskan model keserentakan yang dapat ditentukan oleh pembentuk UU, termasuk salah satu modelnya adalah pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal.
Menurut Enny, dengan melihat praktik penyelenggaraan pemilu dan Pilkada yang berlangsung 2019, 2024, dan sebagai upaya mewujudkan pemilihan yang lebih demokratis ke depan dengan tetap menjaga keserentakan pemilu, “maka pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal menjadi hal yang konstitusional.”