PENGANGKATAN wakil menteri (wamen) sebagai komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi sorotan publik akhir-akhir ini. Dari 55 wamen di Kabinet Merah Putih pimpinan Presiden Prabowo Subianto, 30 wamen yang rangkap jabatan sebagai komisaris di berbagai perusahaan pelat merah tersebut.
Para wamen yang menjabat komisaris BUMN antara lain Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Stella Christie yang ditunjuk sebagai Komisaris PT Pertamina Hulu Energi. Sedangkan Wakil Menteri Pemuda dan Olahraga Taufik Hidayat ditunjuk menjadi Komisaris PT PLN Energi Primer Indonesia.
Sebelumnya, Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha telah menjabat Komisaris PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia Tbk, Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono sebagai Komisaris Utama PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel), dan Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Fahri Hamzah menjadi Komisaris PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk.
Publik menyoroti rangkap jabatan para wakil menteri tersebut, terutama soal efektivitas kinerja para wakil menteri dalam menjalankan tugas pemerintahan.
Pengamat: Aturan Tak Boleh Rangkap Jabatan Prinsipnya Sama untuk Wamen
Pengamat hukum dan pembangunan dari Universitas Airlangga, Hardjuno Wiwoho, berpendapat aturan tidak boleh merangkap jabatan pada prinsipnya sama antara menteri dan wakil menteri.
Alasannya, kata dia, menteri dan wamen adalah satu paket kekuasaan eksekutif. Sehingga, jika seorang menteri dilarang merangkap sebagai komisaris BUMN, maka larangan itu secara prinsip juga harus berlaku bagi wakil menterinya.
“Wakil menteri bukan jabatan yang independen. Ia bukan pejabat politik otonom yang punya garis komando sendiri, dia perpanjangan tangan menteri,” kata Hardjuno dalam keterangan tertulis di Jakarta pada Senin, 14 Juli 2025, seperti dikutip dari Antara.
Hardjuno mengingatkan larangan rangkap jabatan bagi pejabat eksekutif negara sebenarnya sudah diatur secara tegas dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Dia merujuk antara lain pada Pasal 23 huruf b Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yang menyatakan menteri dilarang merangkap sebagai komisaris atau direksi pada perusahaan negara maupun swasta.
“Pasal ini terang benderang, tidak multitafsir. Karena jabatan wakil menteri adalah bagian dari struktur kementerian dan pembantu presiden, maka semestinya terikat pula pada semangat dan norma dalam undang-undang ini,” ujar Hardjuno.
Dia juga menyoroti Pasal 17 huruf a Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang melarang pelaksana pelayanan publik dari instansi pemerintah merangkap jabatan di organisasi usaha. Adapun Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, kata dia, secara khusus menekankan larangan konflik kepentingan dalam penyelenggaraan berbagai tugas pemerintahan.
Lebih jauh, Hardjuno mengingatkan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang mempertegas larangan menteri merangkap jabatan. “Putusan MK ini menunjukkan bahwa semangat konstitusi kita tidak pernah membenarkan penumpukan kekuasaan administratif dan korporatif dalam satu tangan,” kata dia.
Hardjuno pun membandingkan situasi di Indonesia dengan negara-negara yang lebih maju dalam hal tata kelola pemerintahan. Dia mencontohkan Prancis, sejak 2014, telah memberlakukan pembatasan tegas atas praktik cumul des mandats atau rangkap jabatan oleh pejabat publik.
Di negara itu, kata dia, pejabat yang duduk di parlemen tidak lagi boleh merangkap jabatan di pemerintahan daerah atau institusi eksekutif lainnya karena dinilai merusak profesionalitas dan membuka ruang konflik kepentingan.
Sementara di kawasan Asia Tenggara, lanjut dia, Vietnam dan Malaysia justru menunjukkan kemauan politik yang kuat untuk memperbaiki sistem. Vietnam memperketat pemisahan jabatan publik dan jabatan di perusahaan milik negara sejak terjadinya sejumlah skandal korupsi. Begitu pula dengan Malaysia yang belajar dari krisis 1MDB dan sejak 2023 mulai melarang menteri merangkap sebagai ketua perusahaan BUMN.
Dia menilai persoalan rangkap jabatan menyentuh inti dari integritas pemerintahan. Dia menegaskan jabatan publik merupakan amanah, bukan ruang akumulasi posisi dan fasilitas. “Negara tidak kekurangan orang cakap. Tapi kalau jabatan publik dijadikan alat bagi segelintir elite untuk menumpuk kekuasaan, maka republik ini sedang menyimpang dari arah semestinya,” tuturnya.
Kritik atas Wamen Rangkap Jabatan sebagai Komisaris
Menanggapi rangkap jabatan tersebut, Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan jabatan wakil menteri sekaligus komisaris di sektor pekerjaan sama sulit untuk terhindar dari konflik kepentingan. Meskipun memiliki tata kelola perusahaan yang baik, perusahaan tetap memerlukan kebijakan untuk beroperasi.
Dengan wakil menteri menjadi komisaris, seorang direksi akan memiliki akses lebih mudah kepada pejabat tersebut. “Dia bisa telepon kapan saja, juga bisa mempengaruhi,” kata Yeka kepada Tempo pada Senin, 2 Juni 2025.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Danang Widoyoko menilai rangkap jabatan wakil menteri di sektor yang sama bisa menimbulkan masalah. Objektivitas dan kredibilitas kebijakan yang dibuat oleh wamen akan dipertanyakan.
Dia mencontohkan, jika Nezar Patria mengambil sebuah kebijakan, akan rancu apakah kebijakan itu diambil sebagai Wakil Menteri Komunikasi dan Digital atau Komisaris Utama PT Indosat Tbk. “Perusahaan lain, misalnya XL Axiata, apa perlu mengikuti kebijakan karena yang memutuskan adalah komisaris kompetitor?” ujar Danang.
Adapun Wakil Menteri Perdagangan Dyah Roro Esti Dwi Putri angkat bicara soal banyak kritik terhadap rangkap jabatan wamen sebagai komisaris di BUMN. Dyah Roro merupakan satu dari 30 wakil menteri aktif yang juga menjabat sebagai komisaris BUMN.
“Yang jelas tentu kita akan mengedepankan apa yang dibutuhkan oleh negara dan bagaimana kita bisa maksimal dalam menjalankan tugas,” kata Komisaris Utama PT Sarinah (Persero) itu di kompleks parlemen pada Senin, 14 Juli 2025.
Dian Rahma Fika, Alfitria Nefi P, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Daerah dengan Masa Tunggu Haji Tercepat dan Terlama di Indonesia