MAHKAMAH Konstitusi atau MK memutuskan penyelenggaraan pemilu di tingkat nasional harus dilakukan terpisah dengan pemilu tingkat daerah atau kota (pemilu lokal). Dalam putusan yang dibacakan pada Kamis, 26 Juni 2025, Mahkamah memutuskan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional.
Pemilu nasional adalah pemilu anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden, sementara pemilu lokal terdiri atas pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala dan wakil kepala daerah.
Dengan putusan itu, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak” tidak lagi berlaku untuk Pemilu 2029. “Penentuan keserentakan tersebut untuk mewujudkan pemilu berkualitas serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan.
Menanggapi putusan MK itu, Ketua Komisi II DPR Muhammad Rifqinizamy Karsayuda mengatakan seharusnya Mahkamah tidak membuat norma baru di luar DPR dan pemerintah. Rifqi menuturkan, MK adalah negative legislature yang berwenang memberikan pandangan terhadap kesesuaian suatu norma dengan konstitusi.
Namun dia menganggap, melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK melampaui kewenangannya karena memisahkan pelaksanaan pemilu dan pilkada. “Sekarang MK itu memposisikan diri sebagai positive legislature. Jadi bukan hanya mengatakan bahwa ini inkonstitusional, tapi dia bikin norma sendiri,” ujar Rifqi saat ditemui di kompleks parlemen, Jakarta, Senin, 30 Juni 2025.
Politikus Partai NasDem ini menekankan MK sebagai negative legislature bertugas menguji undang-undang, bukan menghasilkan norma sendiri. Jika MK terus memutuskan sesuatu yang melampaui kewenangannya, Rifqi khawatir hal itu berdampak pada proses demokrasi Indonesia.
Dia ingin agar MK berfokus pada tugas-tugasnya. “Nanti kami revisi Undang-Undang Pemilu, belum dilaksanakan, di-judicial review, diterbitkan norma baru. Kemudian kami hadirkan lagi. Nah kalau seperti ini terus, menurut pandangan saya, kita tidak bisa saling menghargai antarlembaga negara,” tuturnya.
Adapun soal putusan pemisahan pemilu dan pilkada, Rifqi menganggapnya kontradiktif dengan putusan perkara Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang memberi DPR wewenang menentukan model keserentakan pemilu.
Permasalahan lain menurut Rifqi adalah tindak lanjut terhadap putusan MK akan terkendala persoalan yuridis karena bertentangan dengan aturan. Terutama Undang-Undang Dasar 1945. Dia menyebutkan UUD 1945 mengamanatkan pemilihan kepala daerah baik itu gubernur, bupati, maupun wali kota dilakukan secara demokratis.
Namun, dengan putusan tersebut, MK dianggap membatasi metode pemilihan kepala daerah hanya melalui pemilu. Dia juga menyoroti permasalahan jangka waktu pelaksanaan pemilu yang seharusnya digelar setiap 5 tahun sekali. Namun, dengan menyingkirkan kotak pemilu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sejak 2029, maka pelaksanaan pilkada akan mundur hingga tujuh tahun.
Berdasarkan situasi yang kompleks itu, saat ini DPR belum memutuskan sikap resmi untuk merespons putusan MK. “Betul-betul kami kaji kali ini. Karena kami juga tidak mau sekonyong-konyong melaksanakan tapi kemudian justru dalam pelaksanaan itu kami berpotensi melanggar aturan,” tutur Rifqi.
Anggota DPR Menilai MK Melangkahi Kewenangan
Adapun Anggota Komisi II DPR Muhammad Khozin menilai putusan MK yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah bertentangan dengan putusan sebelumnya. Menurut dia, Mahkamah semestinya konsisten dengan putusan perkara Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang memberi pilihan kepada pembentuk undang-undang dalam merumuskan model keserentakan pada UU Pemilu, bukan membatasinya.
“MK lompat pagar atas kewenangan DPR meski UU Pemilu belum diubah setelah putusan 55/PUU-XVII/2019,” kata Khozin dalam keterangan tertulis pada Sabtu, 28 Juni 2025.
Dia menyebutkan pertimbangan hukum pada putusan 55/PUU-XVII-2019 menyatakan MK tidak berwenang menentukan model keserentakan pemilu. Sebab, urusan ini menjadi domain DPR sebagai pembentuk UU.
Legislator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mengatakan implikasi dari putusan MK yang memisahkan penyelenggaraan pemilu juga akan berdampak konstitusionalitas terhadap kelembagaan lain, termasuk penyelenggara pemilu hingga persoalan teknis. “Implikasinya cukup komplikatif. Sayangnya, MK hanya melihat dari satu sudut pandang,” ujarnya.
Demokrat Anggap Pemisahan Pemilu Bisa Ciptakan Politik Biaya Tinggi
Sementara itu, Ketua Badan Riset dan Inovasi Strategis Partai Demokrat Ahmad Khoirul Umam menilai putusan MK tersebut berpotensi memicu perpanjangan siklus ketegangan politik. Dia mengatakan penyelenggaraan pemilu yang tidak lagi serentak akan membuat suasana kompetisi berlangsung lebih panjang dan berpotensi mengganggu stabilitas sosial, politik, dan pemerintahan.
“Ketidaksinkronan pelantikan pejabat juga menimbulkan masalah koordinasi dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan lintas level,” kata Umam dalam keterangan tertulisnya pada Sabtu, 21 Juni 2025.
Dia menyebutkan putusan MK itu juga memunculkan fragmentasi siklus politik nasional dan daerah. Sebab, selama ini, calon anggota legislatif di tingkat nasional dan daerah kerap bekerja sama dalam konteks menggarap basis konstituen di masing-masing daerah pemilihan.
Dengan adanya pemisahan, kata dia, maka para caleg di tingkat nasional akan bekerja lebih keras menjangkau basis pemilih di daerah karena tidak lagi memiliki kerja sama dengan caleg di daerah yang notabene memiliki dukungan mengakar mesin partai. “Ini bisa menciptakan politik biaya tinggi,” ujar Umam.
Putusan MK soal pemisahan pemilu nasional dan daerah itu juga berpotensi memperdalam garis pemisah koordinatif antara pusat dan daerah. Sebab, corak federalisme akan menguat di daerah karena terdorong dinamika politik lokal. “Sehingga perlu ada kebijakan transisional yang menjamin kohesivitas sistem pemerintahan nasional secara keseluruhan," ucap Umam.
Meski demikian, Umam mengatakan Partai Demokrat menghormati putusan Mahkamah dengan alasan mengurangi kompleksitas pemilu serentak yang dapat berimplikasi positif dalam menjadikan sistem kaderisasi partai lebih terstruktur, hingga pendekatan kepada basis pemilih berjalan lebih adaptif.
Dian Rahma Fika, Andi Adam Faturahman, dan Dede Leni Mardianti berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Alasan PDIP dan Sejumlah Pihak Tolak Penulisan Ulang Sejarah