TEMPO.CO, Jakarta – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai pembentukan tim supervisi oleh DPR untuk mengawasi proyek penulisan ulang sejarah nasional tidak menjamin pengalaman korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terakomodasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi KontraS, yang jauh lebih penting dari keberadaan tim adalah komitmen negara terhadap keterbukaan dalam seluruh proses penulisan sejarah itu sendiri.
“Persoalannya bukan semata soal ada atau tidaknya tim supervisi. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana negara menunjukkan komitmen pada keterbukaan dalam agenda penulisan ulang sejarah itu sendiri,” ujar Ketua Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Jane Rosalina Rumpia, saat dihubungi pada Selasa, 8 Juli 2025.
Menurut Jane, tanpa transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik yang bermakna, sulit mempercayai bahwa hasil akhirnya akan mencerminkan kebenaran dan keadilan yang diharapkan rakyat.
“Bahkan sampai sekarang kita tidak tahu siapa saja tim penulis yang terlibat, bagaimana prosesnya, draft-nya, dan sebagainya. Apakah keberadaan tim ini justru akan melegitimasi proses yang eksklusif dan minim partisipasi publik?” kata Jane. Dia menyangsikan tim supervisi yang dibentuk oleh DPR hanya sekadar respons politik atas tekanan publik tanpa keinginan nyata membuka ruang dialog kritis tentang sejarah.
KontraS menekankan proses penulisan ulang sejarah seharusnya melibatkan korban, masyarakat sipil, dan sejarawan independen agar tidak berakhir sebagai narasi yang diglorifikasi oleh penguasa.
“Tanpa partisipasi korban, masyarakat sipil, sejarawan independen, dan publik secara luas, proses ini hanya akan menghasilkan sejarah versi penguasa dengan glorifikasi narasi kekuasaan,” ucap Jane. “Ini bukan hanya berisiko menyesatkan generasi muda, tetapi juga mengingkari hak-hak korban untuk mendapatkan pengakuan dan keadilan.”
Ia mengingatkan jika sejarah menyentuh luka kolektif bangsa, negara semestinya menjadikannya momentum untuk mengungkapkan kebenaran secara jujur, bukan sebagai sarana untuk melupakan atau menghapus jejak kejahatan masa lalu.
Proyek penulisan ulang sejarah yang digagas Kementerian Kebudayaan dengan target rampung Agustus 2025 dan dana sekitar Rp 9 miliar menuai sorotan sejak awal. KontraS mendesak agar proses tersebut dihentikan sementara dan dievaluasi menyeluruh, agar benar-benar menjamin keterlibatan bermakna para penyintas, ahli sejarah independen, dan publik luas.