TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan mengecam dua peristiwa intoleransi keagamaan yang baru-baru ini terjadi. Dua insiden itu ialah penyerangan peserta kegiatan retret pelajar Kristen di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat, pada 27 Juni 2025 dan juga penolakan pembangunan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Jalan Palautan Eres, Kalibaru, Kecamatan Cilodong, Depok, Jawa Barat, pada 5 Juli 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komnas menilai bahwa tindakan tersebut tidak hanya melukai rasa kemanusiaan dan keadilan, tetapi juga menjadi bukti bahwa penghormatan terhadap nilai keberagaman dan hak asasi manusia masih rapuh.
“Insiden ini menunjukkan bahwa hak konstitusional atas kebebasan beragama masih rentan dilanggar, dan negara belum sepenuhnya hadir dalam menciptakan ruang aman dan inklusif bagi setiap warga,” kata Komisioner Komnas Perempuan Dahlia Madanih, dikutip dari keterangan pers pada Ahad, 13 Juli 2025.
Lembaga negara yang dibentuk sebagai buntut tindak kekerasan terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998 ini menegaskan bahwa jaminan hak atas kebebasan beragama dan beribadah bagi seluruh warga adalah bagian tak terpisahkan dari konsensus kebangsaan. Jaminan hak tersebut, menurut Komnas, harus ditegakkan tanpa kompromi oleh seluruh pemangku kepentingan, terutama aparat penegak hukum dan pemerintah daerah.
Sepanjang periode 2020–2025, Komnas Perempuan mencatat terdapat 20 pengaduan kasus intoleransi yang masuk, sebagian besar terkait dengan rumah ibadah. Komnas menyatakan bahwa perempuan menjadi pihak yang paling terdampak, terutama dalam menghadapi ancaman dan kekerasan, serta akibat minimnya keseriusan negara dalam membangun mekanisme pemulihan yang berkelanjutan bagi perempuan.
Dalam kesempatan yang sama, Komisioner Komnas Perempuan Chatarina Pancer Istiyani juga menyayangkan tindakan intoleransi berbasis agama di berbagai daerah kerap terulang. Dia menegaskan bahwa situasi ini harus segera ditangani secara serius oleh negara guna mencegah keberulangan dan memperkuat jaminan atas hak kebebasan beragama bagi seluruh warga.
Ia menyoroti insiden pembubaran paksa terhadap kegiatan retret yang berlangsung secara damai dan tertutup di Sukabumi pada akhir Juni lalu. Pembubaran itu diduga dilakukan oleh sekelompok warga dengan disertai kekerasan, intimidasi, dan pengrusakan fasilitas. Tak lama berselang, kejadian intoleransi keagamaan juga terjadi di Depok pada awal Juli ini. Ratusan warga RW 03 Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilodong, menggelar unjuk rasa menolak pembangunan gereja.
“Penolakan terhadap rencana pendirian rumah ibadah umat Kristen ini menjadi bukti nyata keberlanjutan praktik intoleransi di tingkat lokal,” kata Chatarina.
Komnas Perempuan pun mendesak pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang jelas dan terukur dalam menghentikan segala bentuk intoleransi dan kekerasan berbasis agama yang terus berulang. Komnas merekomendasikan supaya pemerintah dan para pihak yang terlibat untuk segera membangun ruang dialog yang terbuka dan berkelanjutan antar kelompok masyarakat dengan latar belakang yang beragam. Menurut Komnas, dialog itu guna memperkuat toleransi dan mencegah kekerasan berbasis agama.
Pada saat yang sama, Komnas menilai pemerintah perlu mengembangkan mekanisme pemulihan dan rekonsiliasi yang inklusif serta berbasis partisipasi lintas komunitas, khususnya bagi kelompok yang terdampak. Komnas juga menekankan pentingnya respons negara terhadap dampak berlapis yang dialami perempuan dalam situasi intoleransi, termasuk pembatasan ruang sosial, hilangnya akses pendidikan dan spiritual, serta meningkatnya beban pengasuhan.
Upaya pemulihan disebut harus mempertimbangkan kebutuhan khusus perempuan dan anak perempuan, serta memastikan tersedianya ruang aman bagi semua warga untuk menjalankan keyakinannya secara damai dan bermartabat. Komnas berujar, dalam situasi intoleransi, perempuan dan anak perempuan tidak hanya menjadi korban kekerasan dan pengusiran, tetapi juga kehilangan ruang aman untuk beribadah secara damai.
“Hal ini menunjukkan pentingnya pendekatan berbasis gender dalam memastikan pemulihan yang adil dan perlindungan atas hak kebebasan beragama bagi seluruh warga,” tutur Chatarina.