TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bakal mengundang Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan sejumlah organisasi advokat untuk membahas revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menegaskan, rapat dengar pendapat umum atau RDPU soal Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP dengan berbagai elemen masyarakat juga tetap dilakukan pada masa sidang selanjutnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Mulai Senin, 21 Juli 2025 besok, Komisi III DPR RI akan mengundang kembali YLBHI sebagai elemen masyarakat yang meminta penghentian pembahasan RUU KUHAP dan organisasi advokat yang mengusulkan terus dibahasnya RUU KUHAP,” kata Habiburokhman dalam keterangan tertulis pada Ahad, 20 Juli 2025.
Tak hanya itu, politikus Partai Gerindra itu juga mempersilakan masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi untuk mengajukan RDPU di Komisi Hukum DPR. Dia berjanji bakal mengakomodasi masukan dari masyarakat. “Daripada hanya melakukan aksi demo, akan lebih baik jika mereka masuk agar aspirasi mereka lebih mudah diserap oleh seluruh fraksi,” ujar Habiburokhman.
Ia mengklaim bahwa Komisi III DPR merupakan wakil rakyat “yang harus mengayomi dan melayani semua elemen rakyat”. Menurut dia, aspirasi masyarakat harus didengar, dipertimbangkan, dan diakomodasi.
Adapun pembahasan RUU KUHAP masih bergulir di parlemen. Habiburokhman mengatakan RUU KUHAP yang tengah dibahas itu memuat lebih dari 334 Pasal yang memiliki 10 substansi pokok. Revisi KUHAP akan menggantikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang telah berlaku sekitar 44 tahun lamanya. Revisi KUHAP ini merupakan inisiasi DPR dan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
Namun, pembahasan RUU KUHAP kemungkinan besar akan dilanjutkan pada masa sidang mendatang. Sebab, DPR sebentar lagi akan memasuki masa reses. Saat ini, tim perumus dan tim sinkronisasi belum merampungkan perapihan naskah.
Penyusunan dan pembahasan RUU KUHAP belakangan ini menuai kritik. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP, misalnya, berulang kali menyuarakan ketidakpuasan mereka soal RUU KUHAP. Mereka menilai revisi KUHAP masih minim partisipasi publik, dilakukan secara tergesa-gesa atau ugal-ugalan, hingga masih memuat sejumlah pasal bermasalah.
Teranyar, Ketua YLBHI Muhammad Isnur mengkritik bahwa RUU KUHAP ini tidak berpihak pada korban. Dia mengatakan, rancangan undang-undang tersebut tidak memberikan ruang perlindungan yang memadai bagi masyarakat sipil, khususnya mereka yang menjadi korban kekerasan atau pelanggaran hukum.
Isnur menilai rancangan regulasi ini sebagai bentuk pengecualian yang menciptakan impunitas dan mempersempit partisipasi publik dalam pengawasan hukum. "Bagaimana dengan orang-orang yang tidak tahu hukum? Korban yang takut datang ke kantor polisi dan baru bisa bicara ke lembaga swadaya masyarakat atau media. Ini KUHAP untuk siapa? Untuk pelaku, bukan korban," kata dia dalam diskusi publik bertajuk Revisi KUHAP dan Jaminan Hak Asasi Manusia di Hotel Sofyan, Jakarta Pusat, Jumat, 18 Juli 2025.
Decylia Eghline berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan editor: Mengapa Angka Pernikahan Resmi Terus Menurun