TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Rifqinizamy Karsayuda tidak setuju perpanjangan masa jabatan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Rifqi mengatakan rekayasa konstitusi tidak boleh menabrak konstitusi.
“Saya secara pribadi tidak akan pernah melakukan proses itu. Biar sejarah yang akan mencatat,” kata Rifqi di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, pada Senun, 7 Juli 2025. Politikus Partai Nasdem menegaskan bahwa dirinya berpegang teguh pada konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rifqi mengatakan itu menanggapi dampak putusan Mahkamah Konstitusi soal pemisahan pemilu nasional dan lokal.
Dia menjelaskan, jika DPR membuat norma transisi perpanjangan masa jabatan anggota DPRD dari 5 tahun menjadi 7,5 tahun – berarti hasil 2024 lalu melabrak pasal 22E ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 soal pemilu. Menurut aturan, pemilihan umum dilaksanakan lima tahun sekali untuk memilih presiden-wakil presiden, anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD.
Menurut Rifqi, jika DPR menindaklanjuti rekayasa konstitusi putusan MK dengan perpanjangan masa jabatan DPRD, implikasinya bakal mengangkangi konstitusi. “Nyata-nyata melabrak norma di undang-undang dasar,” kata dia.
MK mengabulkan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Dalam Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Kamis, 26 Juni 2025, Mahkamah memutuskan penyelenggaraan pemilu di tingkat nasional harus dilakukan terpisah dengan penyelenggaraan pemilu tingkat daerah atau kota (pemilu lokal). MK memutuskan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional.
Dengan putusan itu, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak” tidak lagi berlaku untuk Pemilu 2029. “Penentuan keserentakan tersebut untuk mewujudkan pemilu berkualitas serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan.
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud Md, mengatakan, putusan MK yang memberikan jeda waktu 2-2,5 tahun antara pemilu nasional dengan pemilu lokal berpotensi menimbulkan masalah. Potensi itu terjadi dalam masa transisi pemilihan DPRD.
Mahfud menjelaskan, belum ada peraturan yang mengatur pengganti anggota DPRD yang habis masa jabatannya. Berbeda dengan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. Dalam UU, bila masa jabatan mereka habis, masih bisa diganti seorang penjabat sampai dilakukan pilkada.
"Problemnya, kalau menunda pemilihan gubernur, bupati, wali kota 2,5 tahun, ya bisa diatasi dengan mengangkat penjabat. Tapi kalau DPRD kan enggak bisa pakai penjabat," kata mantan menteri koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan ini saat ditemui di Jakarta, Ahad, 6 Juli 2025. Menurut Mahfud, kerumitan itu yang membuat sejumlah partai ramai-ramai mengkritik putusan MK.
Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati, menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam putusan pemisahan pemilu nasional dan lokal telah mendorong constitutional engineering atau rekayasa konstitusi. Khoirunnisa mengatakan rekayasa konstitusi dimaksudkan untuk merevisi UU Pemilu dan Pilkada.
“Seharusnya justru kalau memang dianggap ada kerumitan atau implikasi lainnya maka perlu segera dilakukan revisi UU pemilu dan pilkada,” kata Khoirunnisa saat dihubungi Tempo pada Senin, 7 Juli 2025. Dia menegaskan dalam Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 model keserentakan juga telah tercantumkan.
Khoirunnisa mengatakan tugas MK adalah menafsirkan konstitusi. Sehingga putusan soal pemisahan pemilu nasional dan lokal tidak bisa dikatakan inkonstitusional. “Untuk soal transisi masa jabatan, ini yang harus menjadi diskusi oleh pembentuk undang-undang untuk mencari bagaimana bentuknya,” kata dia.
Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini