TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani meminta pemerintah tidak tergesa-gesa dalam proyek penulisan ulang sejarah. Kementerian Kebudayaan menargetkan proyek penulisan sejarah rampung pada Agustus 2025.
Namun, penulisan itu menuai perlawanan dari koalisi masyarakat sipil dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) karena dianggap upaya memutihkan sejarah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puan Maharani pun menyerukan agar pemerintah tak mengabaikan protes tersebut. "Jangan terburu-buru, kita lihat lagi bagaimana fakta sejarah yang ada," ujar Puan di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Kamis, 3 Juli 2025.
Menurut Puan, sekelam apa pun peristiwa di masa lalu harus diakui sebagai bagian dari sejarah. Ia meminta pemerintah untuk menghormati fakta sejarah dengan tidak tebang pilih yang akan dimasukkan ke dalam naskah.
"Penulisan sejarah itu harus dilaksanakan sejelas-jelasnya, seterang-terangnya, tanpa ada pihak yang merasa dirugikan atau dihilangkan jejak sejarahnya," utur Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan tersebut.
Ia kemudian merujuk pada tindakan Presiden Ke-3 Baharudin Jusuf atau BJ Habibie yang mengakui adanya kekerasan terhadap perempuan dalam kerusuhan 1998. Sehingga Puan meminta pemerintah untuk meninjau ke belakang.
"Kalau kemudian dalam fakta sejarah itu memang dianggap ada yang enggak perlu (ditulis), ya apa betul? Karena banyak ahli-ahli sejarah yang menyatakan kita harus menyatakan namanya fakta sejarah," ucapnya.
Sehingga apa yang disampaikan oleh BJ Habibie menurut Puan tak bisa diabaikan oleh pemerintah saat ini. "Jangan sampai fakta sejarah kemudian tidak dihargai atau dihormati."
Adapun Menteri Kebudayaan Fadli Zon memastikan bahwa penulisan ulang sejarah tetap berlanjut sesuai rencana. Kendati diprotes, Fadli menyatakan bahwa naskah sejarah baru akan diujikan ke publik dan ditargetkan rampung pada bulan depan, bertepatan dengan peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke-80 tahun.
"Enggak (ditunda). Kami akan melakukan uji publik terhadap apa yang ditulis pada bulan Juli," ujar mantan Wakil Ketua DPR itu di Kompleks Parlemen, pada Rabu, 2 Juli 2025. Uji publik itu dilakukan untuk mendapatkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan sejarah. Ia menyebut di antaranya arkeolog dan perguruan tinggi.
Fadli Zon mengklaim tidak ada yang ditutup-tutupi dalam penulisan ulang sejarah. Ia meminta masyarakat untuk menyampaikan kritik penulisan ulang sejarah saat naskahnya diujikan ke publik. "Misalnya Anda wartawan lagi menulis, masa belum selesai langsung tiba-tiba dihakimi? Baru satu paragraf terus langsung dihakimi. Tunggu dulu dong selesai," ujar politikus Partai Gerindra tersebut.