TEMPO.CO, Jakarta - Di tengah kekacauan pada 12-14 Mei 1998, tak sedikit perempuan–mayoritas dari etnis Tionghoa–menjadi korban pemerkosaan massal. Meskipun diskursus pemerkosaan massal masih menjadi perdebatan, Tempo telah melakukan wawancara dengan sejumlah pendamping yang melihat peristiwa serta korban pemerkosaan secara langsung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satunya adalah cerita kesaksian Fani Gunadi, nama disamarkan, seorang ibu rumah tangga yang tergerak hatinya mendampingi para korban. Kesaksian dari Fani terbit pada 12 Oktober 1998 berjudul "Pemerkosaan: cerita dan fakta". Selengkapnya baca di sini.
Saat kerusuhan, Fani sempat menyaksikan seorang perempuan keturunan cina yang dilecehkan lima pria. Tiga hari kemudian, pada Sabtu, 16 Mei 1998, dia bertemu Mona Johan/ seorang gadis muda yang hidupnya berubah kelam setelah 13 Mei.
Mereka bertemu di unit gawat darurat Rumah Sakit Graha Medika. Waktu itu, Fani bercerita, dia melihat Mona tiba dengan tubuh tertutup rapat seprai kembang-kembang mengunci diri dalam ketakutan yang mendalam.
Fani mendengar kebingungan orang tua Mona yang hendak pulang karena mereka kehilangan seluruh harta bendanya saat kerusuhan. Fani lalu mengajak keluarga itu tinggal di rumahnya di Serpong, Tangerang. Mona tinggal sembilan hari di sana sampai kemudian Fani membantunya dan keluarganya untuk pindah ke Australia.
Dua bulan kemudian, Fani mengunjungi keluarga itu di Australia. Dia menyaksikan Mona masih tampak trauma, belum mau melepaskan kerudungnya. Bahkan pada saat makan, Mona lebih suka menyembunyikan makanan di dalam kerudung. Cara mona berbicara juga masih sama saat ia pertama bertemu, mengeluarkan kata-kata tapi mulutnya tertutup.
Cerita kekejaman yang dialami mona baru diketahui fani belakangan saat ia berkunjung kembali ke Australia pada Agustus 1998. Tanpa diduga, saat mereka sedang bepergian, Mona bercerita dengan suara dingin dan datar, bahkan tanpa air mata. Mona bertutur, saat kerusuhan mei 1998, lima orang laki-laki masuk ke rumahnya.
Laki-laki tersebut bergantian memerkosanya. Kerudung yang dipakai mona adalah seprai tempat kebiadaban itu terjadi. Selama kejadian itu Mona berusaha mati-matian menyelamatkan diri dengan menggulung tubuh dengan seprai itu. Tapi, dia gagal.
Pada 2003, Tempo juga menginvestigasi pemerkosaan 1998. Jika sebelumnya Tempo mendapatkan keterangan dari pendamping, kali ini wartawan Tempo bisa menemui sejumlah korban pemerkosaan.
Salah satunya adalah Mei ling, juga bukan nama sebenarnya. Termuat dalam laporan pada 25 Mei 2023 berjudul ‘hidup yang terenggut’, wartawan majalah ini menemui mei ling di sebuah rumah perawatan di Jakarta Utara. Mei Ling dititipkan di rumah perawatan tersebut sejak 2001. Selengkapnya baca di sini.
Mei Ling tak banyak bicara. Da hanya mengangguk, paling sesekali menjawab "Iya" atau "Enggak”. Saat kunjungan Tempo itu, Mei Ling yang ditemani seorang pendamping, sebut saja Wati, sempat mengeluhkan sakit sambil memegang bagian bawah perutnya, tapi wajahnya datar, tak menunjukkan rasa nyeri.
Wati berkisah bagaimana hidup Mei Ling direnggut pada 14 Mei sore, perempuan beranak dua yang telah berpisah dengan suaminya itu dicegat massa di jalan. Tanpa ampun, dia lalu diperkosa. Mei Ling ditolong seorang ibu yang kebetulan lewat di daerah Sunter, Jakarta Utara. Sekujur tubuhnya penuh memar dan ia dalam keadaan syok berat.
Dokter Lie Dharmawan yang pernah menolong Mei Ling menduga lebam itu berkaitan dengan pemerkosaan yang dialaminya. Mei ling lalu dirawat di bagian jiwa Rumah Sakit Carolus, Jakarta.
Kepada Tempo, seorang korban lain langsung mengungkapkan mimpi buruknya. Kita sebut saja namanya Dini. Saat menyampaikan ceritanya, gadis Tionghoa berusia sekitar 29 tahun itu tinggal di Amerika Serikat. Melalui telepon dan e-mail, Dini bersaksi kepada Tempo bahwa ia telah diperkosa tiga lelaki tegap berambut cepak sekitar tanggal 15 Mei 1998.
Ketika itu Dini baru pulang kantor, tengah menunggu bus di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Tiba-tiba sebuah taksi berhenti di depannya. Seorang pria turun sambil menodongkan belati, kemudian ia mendorong Dini masuk.
Taksi melaju. Dini menggigil ketakutan. Sampai di bawah jembatan Semanggi, taksi berhenti di dekat sekelompok tentara. Dari kerumunan itu dua orang berkaus hitam ikut naik, mengapit dini di jok belakang.
Selama perjalanan ke arah bekasi, mereka menggerayanginya. "Aku takut sekali. Mereka tertawa-tawa, saling bercerita telah memperkosa perempuan-perempuan Cina di Glodok dan Tangerang,” kata Dini.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan peristiwa pemerkosaan massal pada 1998 hanya rumor. Pernyataannya menuai banyak kritik dan kecaman dari berbagai pihak. Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menyebut pernyataan Fadli Zon ihwal tidak ada pemerkosaan massal pada Kerusuhan Mei 1998 adalah keliru.
Berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM, Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 dinyatakan sebagai Pelanggaran HAM yang Berat, yaitu Kejahatan terhadap Kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kejahatan terhadap kemanusiaan itu antara lain pembunuhan; perampasan kemerdekaan; penyiksaan; perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; dan persekusi.