Liputan6.com, Jakarta Selama ini, diabetes sering dikaitkan dengan kondisi kelebihan berat badan atau obesitas. Namun faktanya, banyak orang bertubuh kurus yang juga didiagnosis menderita diabetes, terutama tipe 2. Hal ini membuktikan bahwa risiko diabetes tidak hanya ditentukan oleh bentuk tubuh, tetapi juga oleh gaya hidup, pola makan, dan faktor genetik. Jadi, jangan terlena hanya karena tubuh tampak langsing—bukan berarti bebas dari ancaman gula darah tinggi.
Dalam artikel ini, kita akan membahas mengapa orang kurus tetap bisa terkena diabetes dan faktor-faktor tersembunyi yang sering luput dari perhatian. Mulai dari resistensi insulin, lemak visceral, hingga gaya hidup pasif, semua memiliki peran penting dalam memicu kondisi ini. Simak penjelasan lengkapnya agar kamu bisa lebih waspada dan menjaga kesehatan, tak peduli seperti apa bentuk tubuhmu.
Fenomena "Thin Outside, Fat Inside" (TOFI)
Salah satu alasan utama mengapa orang kurus dapat terkena diabetes adalah fenomena yang dikenal sebagai "Thin Outside, Fat Inside" (TOFI) atau sering disebut juga "Skinny Fat". Kondisi ini menggambarkan individu yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) dan berat badan normal, namun sebenarnya memiliki kadar lemak tubuh yang tinggi. Lemak ini tidak terlihat secara kasat mata karena tersembunyi di sekitar organ dalam.
Lemak visceral adalah jenis lemak yang sangat berbahaya, terletak di sekitar organ vital seperti hati dan ginjal. Berbeda dengan lemak subkutan yang berada di bawah kulit, lemak visceral dapat melepaskan hormon dan zat inflamasi yang mengganggu metabolisme glukosa dan lemak tubuh. Sebuah studi oleh H Yaghootkar et al., dalam The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism (2014) menemukan bahwa individu dengan komposisi tubuh TOFI menunjukkan resistensi insulin dan profil metabolik serupa dengan orang obesitas, meskipun memiliki berat badan normal.
Kondisi ini menunjukkan bahwa berat badan normal tidak selalu mencerminkan kesehatan metabolik yang optimal. Seseorang mungkin terlihat kurus, tetapi memiliki komposisi tubuh yang tidak sehat dengan persentase lemak visceral yang tinggi. Inilah yang menjadi salah satu pemicu utama diabetes pada individu dengan berat badan ideal dan menjadi alasan pentingnya memeriksa komposisi tubuh, bukan sekadar angka timbangan.
Resistensi Insulin
Resistensi insulin terjadi ketika sel-sel tubuh seperti otot, lemak, dan hati tidak merespons insulin secara efektif, sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel dan menumpuk dalam darah. Hal ini menyebabkan peningkatan kadar gula darah dan menjadi salah satu faktor utama dalam perkembangan diabetes tipe 2. Menurut Wilcox (2005) dalam Clinical Biochemist Reviews, resistensi insulin merupakan tahap awal penting dalam sindrom metabolik.
Untuk mengimbangi resistensi ini, pankreas memproduksi insulin dalam jumlah lebih banyak. Namun, jika sel-sel tetap tidak responsif, kadar gula darah terus meningkat dan lama-kelamaan berujung pada diabetes tipe 2. Menariknya, kondisi ini juga bisa dialami oleh orang kurus, karena tidak selalu berkaitan dengan jumlah lemak tubuh secara keseluruhan.
Faktor seperti lemak visceral tinggi, pola makan buruk, dan kurang gerak turut berkontribusi pada resistensi insulin pada orang kurus. Samuel dan Shulman (2012) dalam The Journal of Clinical Investigation menjelaskan bahwa penumpukan lemak di hati dan otot dapat menghambat kerja insulin, bahkan pada individu dengan berat badan normal. Oleh karena itu, resistensi insulin menjadi penghubung penting antara gaya hidup dan risiko diabetes, terlepas dari bentuk tubuh seseorang.
Faktor Genetik dan Riwayat Keluarga
Genetika memegang peran penting dalam risiko terjadinya diabetes tipe 2, bahkan pada orang yang terlihat sehat dan memiliki berat badan normal. Seseorang yang memiliki riwayat keluarga—seperti orang tua atau saudara kandung—dengan diabetes, memiliki kecenderungan lebih besar terkena penyakit ini. Menurut American Diabetes Association (ADA) dalam publikasi Standards of Medical Care in Diabetes (2023), riwayat keluarga termasuk faktor risiko utama yang tidak dapat dimodifikasi.
Penelitian menunjukkan bahwa risiko diabetes bisa meningkat hingga tiga kali lipat jika satu anggota keluarga inti menderita penyakit ini, dan bisa mencapai 70% bila kedua orang tua mengidapnya. Groop dan Lyssenko (2008) dalam Nature Reviews Genetics menyebutkan bahwa kombinasi mutasi genetik tertentu dapat melemahkan fungsi sel beta pankreas sejak dini, sebelum gejala muncul. Ini menjelaskan bahwa risiko genetik tetap berlaku meskipun penampilan fisik tidak menunjukkan tanda-tanda gangguan metabolik.
Karena itu, penting bagi individu dengan latar belakang keluarga penderita diabetes untuk lebih waspada dan aktif menjaga kesehatan. Meski gen tidak bisa diubah, pola makan sehat, olahraga teratur, dan pemeriksaan rutin dapat membantu mengurangi risiko secara signifikan. Deteksi dini menjadi langkah penting untuk mencegah berkembangnya penyakit lebih lanjut.
Gaya Hidup Pasif
Kurangnya aktivitas fisik atau gaya hidup yang malas bergerak, yang dikenal sebagai sedentary lifestyle, merupakan faktor risiko signifikan untuk diabetes tipe 2, terlepas dari berat badan seseorang. Orang yang menghabiskan sebagian besar waktunya dengan duduk atau berbaring memiliki risiko hampir dua kali lipat terkena diabetes dibandingkan mereka yang aktif. Menurut Hu et al. (2001) dalam The New England Journal of Medicine, durasi duduk yang lama berkaitan erat dengan peningkatan risiko diabetes tipe 2, bahkan setelah disesuaikan dengan indeks massa tubuh.
Ketika tubuh tidak aktif secara fisik, sel-sel tidak menggunakan glukosa secara efisien sebagai energi. Akibatnya, gula darah tetap berada dalam aliran darah dan menumpuk, menyebabkan kondisi hiperglikemia atau kadar gula darah tinggi. Aktivitas fisik membantu sel-sel menjadi lebih sensitif terhadap insulin dan menggunakan glukosa dengan lebih baik, sehing...