TEMPO.CO, Jakarta - Penambahan daya tampung siswa baru di sekolah menengah atas dan kejuruan atau SMA dan SMK negeri sesuai Keputusan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi berpotensi melanggar aturan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB). Menurut Ketua Perwakilan Ombudsman Jawa Barat Dan Satriana penambahan murid di kelas yang melebihi ketentuan standar akan berimplikasi pada kualitas dan pelayanan pembelajaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Usulan penambahan jumlah murid tersebut seharusnya dilakukan pada tahap perencanaan penerimaan murid baru, saat melakukan penetapan wilayah sebaran dan simulasi daya tampung sebelum diumumkan pendaftaran SPMB,” katanya kepada Tempo, Rabu 3 Juli 2025.
Meskipun dimungkinkan ada pengecualian jumlah murid di setiap rombongan belajar, acuannya, menurut Dan, pada Keputusan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 071/H/M/2024. Pengecualian itu dibatasi kriteria yaitu satuan pendidikannya baru didirikan, melaksanakan pembelajaran kelas rangkap, atau berada di daerah khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Keputusan itu juga tidak sesuai dengan Peraturan Mendikdsmen yang mengatur pelibatan sekolah swasta dalam hal terdapat kekurangan daya tampung pada satuan pendidikan negeri,” ujarnya.
Di sisi lain, Ombudsman menilai kebijakan penambahan murid itu juga berpotensi menimbulkan permasalahan lain, seperti tuntutan untuk memasukkan calon murid yang tidak diterima di jalur lainnya dengan berbagai alasan. Kemudian bisa menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap konsistensi pernyataan dan kebijakan pemerintah provinsi Jawa Barat. Hal itu juga bisa memunculkan rasa ketidakadilan bagi calon murid jalur lain yang sudah patuh mengikuti seluruh tahapan dan prosedur SPMB.
“Juga berpotensi membuat ketidakpuasan sekolah swasta mengenai perhatian pemerintah,” kata Dan.
"Padahal dengan jumlah sekolah swasta yang lebih banyak dibandingkan sekolah negeri, mereka selama ini telah berkontribusi dalam meningkatkan angka partisipasi pendidikan di Jawa Barat."
Ombudsman meminta agar upaya pemerintah provinsi Jawa Barat membantu anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah untuk mengakses pendidikan tidak dibatasi pada sekolah negeri.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi sebelumnya membuat keputusan bernomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang petunjuk teknis pencegahan anak putus sekolah ke jenjang pendidikan menengah yang diteken pada 26 Juni 2025. Dalam keputusan itu tertera tujuan pencegahan anak putus sekolah antara lain untuk meningkatkan akses layanan pendidikan bagi murid yang terkendala dalam penerimaan murid baru secara reguler. Kemudian memberikan pemenuhan hak warga Jawa Barat untuk mendapatkan layanan pendidikan bermutu, serta meningkatkan angka partisipasi sekolah ke SMA atau SMK.
Calon murid sasarannya yaitu yang diberikan afirmasi dengan kriteria murid dari keluarga ekonomi tidak mampu, dari panti asuhan yang terdaftar pada dinas sosial, yang terdampak bencana alam, serta murid bina lingkungan sosial budaya. Adapun satuan pendidikannya yang memfasilitasi adalah SMA dan SMK negeri serta SMA Terbuka.
Calon murid ditempatkan kepada satuan pendidikan sebanyak-banyaknya 50 murid disesuaikan dengan hasil analisis data luas ruang kelas yang akan digunakan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Biaya pelaksanaannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Jawa Barat, juga sumber lain yang sah.
Forum Kepala Sekolah Menengah Atas (SMA) Swasta Provinsi Jawa Barat mendesak Gubernur Dedi Mulyadi mencabut aturan terbarunya itu. “Kalau tidak ada tindak lanjut kita berencana menggugat ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara),” kata Ketua Umum Forum Kepala SMA Swasta Jawa Barat Ade D. Hendriana kepada Tempo, Rabu 2 Juli 2025. Beberapa dasar alasan penolakan aturan itu seperti bertentangan dengan aturan menteri terkait dengan luas ruang kelas dan jumlah maksimalnya.
Dampaknya juga dikhawatirkan akan membuat banyak sekolah swasta yang tutup karena tidak diberi ruang untuk bersaing. Kebijakan itu, menurut Ade, berpotensi juga memunculkan siswa titipan dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap SPMB.