Liputan6.com, Jakarta Perwakilan World Health Organization (WHO) di wilayah Palestina, dokter Rik Peeperkorn, mengungkapkan bahwa terjadi kenaikan kasus meningitis di Gaza. Aksesibilitas yang terganggu membuat penderita peradangan pada selaput otak dan sumsum tulang belakang itu sulit untuk mendapatkan penanganan cepat.
“Terjadi kenaikan kasus meningitis pada anak-anak. Kami sangat prihatin,” tutur Peeperkorn.
Salah satu kasus meningitis dialami bayi 16 bulan bernama Sham. Ia harus berjuang dan hampir sekarat karena sulitnya akses untuk menuju layanan medis.
“Suhu tubuh Sham tiba-tiba tinggi dan tubuhnya kaku. Kami tidak bisa menemukan mobil untuk membawanya…dia hampir meninggal,” ungkap sang nenek, Umm Yasmin di salah satu ruangan Rumah Sakit Nasser, Gaza bagian selatan. kepada USA Today seperti mengutip dari Reuters pada 7 Juli 2025.
Direktur Pediatri dan Maternitas Rumah Sakit Nasser, Khan Younis, Dr. Ahmad al-Farra melaporkan dalam satu minggu terakhir, terdapat hampir 40 kasus baru meningitis yang masuk.
Laporan dari Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan, beberapa minggu terakhir, Departemen Pediatri di Rumas Sakit Anak Rantisi, Gaza Utara mencatat adanya ratusan kasus meningitis.
Dr. Abu Mughaisib menyatakan kurangnya fasilitas untuk melakukan tes laboratorium untuk mendeteksi bakteri penyebab meningitis ini membuat penyakit ini sulit untuk didiagnosis.
Faktor yang Bikin Kasus Meningitis di Gaza Naik
Menurut WHO peningkatan kasus miningitis di Gaza merupakan fenomena musiman, yang biasanya terjadi antara bulan Juni dan Agustus. Namun, WHO tidak menampik adanya fakta bahwa faktor lain dapat menjadi penyebabnya.
Faktor-faktor lain yang disebut dapat menjadi penyebabnya adalah sanitasi yang buruk, akses layanan kesehatan yang terbatas, serta adanya gangguan pada program vaksinasi rutin.
Faktor-faktor lain yang disebut dapat menjadi penyebabnya adalah sanitasi yang buruk, akses layanan kesehatan yang terbatas, serta adanya gangguan pada program vaksinasi rutin.
WHO turut menjelaskan, bakteri meningitis yang menyebar di udara dapat menular dan berbahaya bagi warga Gaza yang tinggal di tenda-tenda pengungsian.
Rumah Sakit Kewalahan Menangani Lonjakan Meningitis
Rumah sakit yang masih beroperasi di Gaza berada pada kondisi yang mengkhawatirkan. Kondisi tempat tidur yang penuh dan ketersediaan antibiotik yang terbatas, membuat rumah sakit kesulitan untuk menampung korban lonjakan.
Wakil koordinator medis MSF, Dr. Mohammed Abu Mughaisib menyebut bahwa rumah sakit kini tidak memiliki ketersediaan ruang.
“Tidak ada ruang tersisa lagi di rumah sakit. Tidak ada ruang untuk mengisolasi pasien,” ungkapnya.
Lingkungan Pengungsian Yang Tidak Memadai
Sejak Oktober 2023, lebih dari 2 juta orang, hampir seluruh penduduk Gaza harus mengungsi. Lebih dari 57.000 warga Palestina tewas pada serangan di bulan Oktober 2023 lalu.
Serangan tersebut menghancurkan sebagian besar wilayah Gaza, menyebabkan krisis kelaparan. PBB menyebut, kini, 80% wilayah Gaza telah menjadi zona militer Israel, yang mengharuskan penduduk Gaza berpindah ke kawasan pengungsian.
Keadaan tenda pengungsianpun tidak layak tinggal. Umm Yasmin mengatakan bahwa semenjak mengungsi, cucunya, Sham telah terkena meningitis sebanyak dua kali.
“Tenda tempat kami tinggal…hewan pun tak akan sanggup tinggal di sana,” ujar Umm Yasmin menjelaskan kondisi tempat pengungsian.
Menurut Dr. Farra, sanitasi yang buruk mempercepat penyebaran meningitis. WHO menyebut penyebaran virus sangat mudah terjadi di tempat dengan sanitasi buru, sebab, virus meningitis biasanya menular melalui jalur feses ke mulut.
WHO juga turut menjelaskan bahwa bakteri meningitis yang tersebar di udara berbahaya dan mengancam nyawa penghuni tenda-tenda pengungsian yang padat.