TEMPO.CO, Jakarta - Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyampaikan keprihatinan terhadap situasi pendidikan di Jawa Barat yang dinilai terus memburuk akibat pendekatan kebijakan sepihak di bawah kepemimpinan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JPPI menilai Pemprov Jawa Barat gagal menjawab lima masalah utama yang dinilainya sudah mencapai krisis pendidikan. “Ini bukan sekadar angka, ini tragedi pendidikan yang kompleks dan mendalam. Yang makin memperparah adalah ego ‘superman’ Pemprov yang merasa bisa menyelesaikan semua masalah sendiri,” ujar Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Kamis, 24 Juli 2025.
Lima anomali krisis pendidikan yang dipetakan JPPI antara lain seperti jumlah anak tidak sekolah (ATS) di Jawa Barat tertinggi se-nasional. Ubaid mengungkapkan angkanya mencapai 616.080 anak. Angka tersebut jauh melampaui Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Masalah lainnya seperti kekerasan di lingkungan pendidikan, termasuk kekerasan seksual dan perundungan, yang menempatkan Jawa Barat di tiga besar secara nasional.
Belum lagi masalah tawuran pelajar yang masih merajalela. Ubaid mengatakan tercatat setidaknya terjadi tawuran pelajar di 41 desa/kelurahan. “Ini bukan lagi kenakalan remaja biasa. Ini mencerminkan kegagalan pendidikan karakter dan intervensi sosial yang dilakukan oleh pemerintah daerah,” kata Ubaid.
Kasus intoleransi tertinggi di sekolah, mulai dari persekusi hingga ujaran kebencian terhadap pelajar minoritas juga marak di Jawa Barat. Ia menyebut JPPI menemukan sejumlah kasus persekusi pelajar yang beda keyakinan, ujaran kebencian hingga intimidasi, dan stigmatisasi. “Ini merupakan pukulan telak bagi semangat Bhinneka Tunggal Ika dan keragaman yang seharusnya dijunjung tinggi di institusi pendidikan,” ujarnya.
Ubaid turut mengungkapkan marak pula skandal penahanan ijazah di Jawa Barat. Setidaknya lembaganya menerima 612 pengaduan aktif ihwal penahanan ijazah tersebut. Hingga kini, kasus penahanan ijazah itu juga masih belum terselesaikan. Janji Pemprov Jabar membayar uang tebusan ke sekolah swasta yang belum ditepati.
JPPI menyebut sebagian krisis ini memang merupakan warisan dari masa lalu, namun kini semakin akut akibat sikap Pemprov Jawa Barat yang dianggap tidak inklusif dan minim keterlibatan publik dalam proses perumusan kebijakan. “Ini bukan kebijakan pribadi gubernur atau kepala dinas, ini kebijakan publik yang harus partisipatif!” tegas Ubaid.
JPPI meminta agar ada evaluasi total dari cara Pemprov Jabar menyelesaikan masalah pendidikan. Dia menyarankan untuk melakukan empat langkah strategis untuk mengatasi krisis pendidikan yakni:
1. Hentikan pendekatan "jalan sendiri". Pemerintah daerah diminta mengakui pentingnya kolaborasi lintas sektor, bukan hanya birokrasi internal.
2. Perluas ruang partisipasi publik. Kebijakan harus dikawal bersama masyarakat sipil, praktisi pendidikan, akademisi, orang tua, dan peserta didik.
3. Terbuka terhadap kritik. JPPI menilai kecenderungan anti-kritik yang mengedepankan pembungkaman dan pengerahan buzzer digital justru kontraproduktif.
4. Intervensi dari Kemendikdasmen untuk menegur dan mengawasi kebijakan Pemprov Jabar agar tetap sejalan dengan arah pendidikan nasional.
JPPI menekankan kualitas pendidikan hanya bisa dicapai jika ada evaluasi menyeluruh, akuntabilitas yang ditegakkan, serta komitmen terhadap tata kelola yang terbuka dan partisipatif. Ubaid mengingatkan apabila pemprov terus menutup telinga dan mata terhadap realitas di lapangan, maka anak-anak dan masa depan Jawa Barat yang menjadi korban.