TEMPO.CO, Bandung - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menjawab kritikan dari Komnas Perempuan soal dirinya yang kerap berbicara seksis dan cenderung mendiskreditkan kaum perempuan saat tampil di depan publik. Menurut Dedi, banyolan yang menyinggung soal perempuan menjadi hal yang lumrah bagi orang Sunda.
Ia mengatakan tak bermaksud melecehkan bahkan sampai melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap kaum perempuan lewat banyolannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, istilah cawokah--banyolan berbahasa Sunda yang menjurus ke arah seksualitas--cukup akrab di sebagian masyarakat Sunda. Menurut pria yang akrab disapa KDM itu, banyolan tersebut tak bisa dipisahkan dengan budaya orang Sunda.
"Begini, ini orang Sunda, jadi saya tahu itu kan sering banyol sama Ceu Popon (komedian Sunda) di panggung-panggung, nah kalau banyol sama Ceu Popon itu cawokah itu tradisi yang biasa ada dalam masyarakat Sunda dalam lawakan-lawakan," kata Dedi Mulyadi di Jatinangor, Sumedang, Senin, 28 Juli 2025.
Dedi mencontohkan istilah untuk penis dalam bahasa Sunda bisa jadi beragam arti tergantung konteks penggunaannya. Istilah tersebut bisa dimaknai untuk menggambarkan seseorang yang tidak punya rasa malu jika dipadankan dengan kata jidat, seperti dalam istilah penis di jidat. Ada juga istilah kanjut kundang yang merujuk pada dompet kecil terbuat dari kain untuk menyimpan uang koin atau perintilan kecil lainnya.
"Nah itu beda-beda, jadi tergantung orangnya. Jadi orang kalau hanya baca dari sisi akademik mungkin berat tapi bagi mereka yang biasa nonton (wayang) golek, lawakan, ya biasa saja," katanya.
Dedi bersikeras omongan seksisnya di ruang publik tidak masuk dalam kategori kekerasan seksual. Menurut dia, hal tersebut hanya sebatas guyonan belaka dan tidak tendensius untuk merendahkan derajat perempuan. "Oh enggak (masuk kekerasan seksual)," kata dia.