Liputan6.com, Jakarta Indonesia termasuk dalam 10 negara dengan jumlah kasus kanker ovarium tertinggi di dunia, ada 15.130 kasus baru setiap tahunnya.
Jumlah ini ditunjukkan oleh World Research Cancer Fund (WRCF) di mana Indonesia menduduki peringkat keempat setelah China, India, dan Amerika Serikat (AS).
“Angka ini mencerminkan masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat mengenai kanker ovarium, serta terbatasnya edukasi seputar faktor risikonya,” kata dokter spesialis obstetri dan ginekologi, konsultan onkologi, dr. Muhammad Yusuf, SpOG (K) Onk, mengutip keterangan pers, Sabtu (26/7/2025).
Melihat kondisi tersebut, sambungnya, sangat penting bagi kita untuk bersama-sama meningkatkan kesadaran akan kanker ovarium. Termasuk pemahaman terhadap ancamannya dan edukasi kepada masyarakat, terutama perempuan, mengenai pentingnya deteksi dini kesehatan reproduksi.
“Edukasi yang berkelanjutan kepada masyarakat, khususnya perempuan, sangat penting guna menekan laju pertumbuhan kasus dan meningkatkan kualitas penanganan secara menyeluruh,” ucap Yusuf.
Sementara, data Global Cancer Observatory (GLOBOCAN) 2022 menunjukkan bahwa kanker ovarium menempati peringkat ketiga sebagai kanker terbanyak pada perempuan di Indonesia.
Kanker ovarium epitelial menjadi jenis kanker ovarium paling umum terjadi yang berkembang pada jaringan epitel, yaitu lapisan tipis yang menutupi bagian luar ovarium.
Beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan kemungkinan seorang perempuan terkena kanker ovarium adalah:
- Riwayat keluarga, khususnya jika ada kerabat tingkat pertama (seperti ibu atau saudara kandung) yang pernah menderita kanker ovarium.
- Riwayat reproduksi seperti menstruasi yang dimulai terlalu dini, tidak pernah hamil, atau menopause yang terjadi pada usia lebih tua dari rata-rata.
- Faktor genetik termasuk mutasi pada gen BRCA1/BRCA2 (Breast Cancer Gene).
- Kelainan pada mekanisme perbaikan DNA seperti Homologous Recombination Deficiency (HRD).
- Obesitas atau kelebihan berat badan.
- Risiko yang meningkat seiring bertambahnya usia.
Polikistik ovarium (PCOS) adalah penyakit ketika ovum atau sel telur pada perempuan tidak berkembang secara normal akibat ketidakseimbangan hormon. Hal ini dapat menyebabkan siklus menstruasi yang tidak teratur serta menyebabkan kemandulan. Berikut 5...
Menurunkan Risiko Kanker Ovarium
Menjalani gaya hidup sehat memiliki peran penting dalam menurunkan risiko kanker ovarium. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan antara lain:
- Menjaga berat badan ideal.
- Menjalankan pola makan yang seimbang dan sehat.
- Memilih kontrasepsi oral atau Pil KB.
- Berhenti merokok.
- Menghindari terapi hormon.
Kebiasaan ini bisa mendukung kesehatan reproduksi perempuan secara menyeluruh.
Berbeda dengan jenis kanker lainnya, hingga saat ini belum tersedia metode skrining yang benar-benar akurat dan dapat diandalkan untuk mendeteksi kanker ovarium sejak dini. Meski begitu, pemeriksaan seperti transvaginal ultrasound dan tes darah CA-125 dapat menjadi opsi pendukung dalam upaya deteksi dini.
Mayoritas Kanker Ovarium Terdeteksi di Stadium Lanjut
Data dari American Cancer Society dan National Cancer Institute menunjukkan bahwa sebagian besar kasus kanker ovarium baru terdeteksi ketika sudah memasuki stadium lanjut.
Ini karena gejala awal yang cenderung ringan, tidak spesifik, dan sering diabaikan, seperti perut kembung, nyeri panggul, serta gangguan pencernaan.
“Kanker ovarium merupakan penyebab kematian tertinggi dari seluruh kanker ginekologi dengan mayoritas pasien kanker ovarium baru terdiagnosis pada stadium 3 atau 4 akibat gejala awal yang tidak spesifik, sehingga penanganan medis umumnya sudah memerlukan tindakan operasi atau kemoterapi,” jelas Yusuf.
"Terlebih, risiko kekambuhan setelah kemoterapi awal pun sangat tinggi, yaitu mencapai 70 persen dalam tiga tahun pertama,” imbuhnya.
Pada kanker ovarium stadium lanjut, pasien umumnya harus menjalani operasi besar untuk mengangkat satu atau kedua ovarium, tuba falopi, rahim, serta semua jaringan kanker yang terlihat. Pasca operasi, pasien perlu menjalankan kemoterapi untuk membunuh sel kanker yang tersisa. Setelah menyelesaikan kemoterapi awal dan memasuki fase remisi, menjaga pasien agar terhindar dari kekambuhan sangat penting untuk mempertahankan kualitas hidup. Namun, pada kanker ovarium stadium lanjut, tingkat kekambuhan tetap tinggi setelah pengobatan lini pertama.
Akibatnya, banyak pasien harus menjalani kemoterapi ulang, yang sering kali disertai dengan periode remisi (masa bebas kanker) yang lebih singkat dan peningkatan risiko kematian.
Terapi Target untuk Kanker Ovarium
Dalam beberapa kasus, terapi target dapat diberikan setelah kemoterapi, bergantung pada hasil pemeriksaan molekuler seperti BRCA (Breast Cancer gene) atau HRD (Homologous Recombination Deficiency).
Pasien dengan status HRD-positif memiliki biomarker genetik yang menunjukkan bahwa mereka memenuhi syarat untuk menjalani maintenance therapy berbasis PARP (Poly ADP-Ribose Polymerase) inhibitor, seperti Olaparib.
Terapi ini bekerja dengan mengeksploitasi kelemahan genetik akibat HRD untuk menghentikan pertumbuhan sel kanker, sehingga membantu menurunkan risiko kekambuhan, memperpanjang harapan hidup, dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Oleh karena itu, penting untuk berkonsultasi dengan tenaga kesehatan agar mendapatkan evaluasi menyeluruh dan rekomendasi terapi yang sesuai berdasarkan kondisi masing-masing pasien.
“Menjalani perawatan yang terpersonalisasi usai menjalani operasi dan kemoterapi merupakan langkah yang tepat. Antisipasi terhadap kekambuhan memberikan peluang hidup yang lebih baik bagi pasien,” kata dr. Feddy, Medical Director AstraZeneca Indonesia, dalam keterangan yang sama.
Dia menambahkan, penanganan kanker ovarium khususnya stadium lanjut membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif. Melalui kerja sama yang erat antara tenaga medis dan penyedia terapi lanjutan, diharapkan semakin banyak pasien yang dapat merasakan manfaat dari terapi inovatif seperti maintenance therapy.
Setiap pasien kanker ovarium berhak mendapatkan peluang terbaik untuk hidup lebih lama, dengan kualitas hidup yang lebih baik.
“Kami percaya bahwa inovasi tidak berhenti pada penemuan terapi. Komitmen kami juga mencakup peningkatan kesadaran dan perluasan akses pengobatan bagi pasien kanker ovarium,” kata Esra Erkomay, President Director AstraZeneca Indonesia.
“Edukasi mengenai pentingnya penanganan yang tepat akses terhadap pilihan perawatan merupakan langkah awal dalam membangun sistem kesehatan yang lebih responsif terhadap kebutuhan pasien kanker ovarium di Indonesia,” pungkasnya.