Liputan6.com, Jakarta - Wanita paruh baya usia 45–60 tahun adalah kelompok yang kerap luput dari perhatian di tengah bergulirnya kampanye kesehatan reproduksi.
“Padahal, mereka menghadapi tantangan yang tidak kalah kompleks, mulai dari masa transisi menopause, peningkatan risiko kanker reproduksi, hingga kebutuhan layanan kesehatan yang ramah usia dan sensitif gender,” kata Direktur Kebijakan Strategi Bidang Peningkatan Sumber Daya dan Kemandirian Keluarga Berencana Kemendukbangga/BKKBN, Dr. Indra Murty Surbakti, dalam keterangan pers dikutip pada Sabtu (19/7/2025).
Dia menambahkan, salah satu fokus utama dalam mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045 adalah penguatan isu kesehatan reproduksi melalui kebijakan kependudukan dan pembangunan keluarga. Kebijakan ini, sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045, bertujuan menciptakan penduduk yang berkualitas, sejahtera, dan berdaya saing global, sejalan dengan cita-cita Indonesia menjadi negara maju pada tahun 2045.
Isu kesehatan reproduksi juga dimuat dalam prioritas nasional keempat Asta Cita, yakni memperkuat pembangunan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, kesehatan, prestasi olahraga, kesetaraan gender, serta penguatan peran perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas.
Wanita paruh baya, yang umumnya berusia antara 45 hingga 60 tahun, mengalami berbagai perubahan biologis, psikologis, dan sosial yang signifikan, terutama selama fase transisi menopause. Pada fase ini, terjadi penurunan kadar hormon estrogen yang berdampak pada berbagai aspek kesehatan reproduksi. Termasuk gangguan menstruasi, disfungsi seksual, serta meningkatnya risiko penyakit tidak menular seperti osteoporosis dan penyakit kardiovaskular.
Para ilmuwan tengah mempelajarinya untuk membantu perempuan tetap aktif dan bugar seiring bertambahnya usia. VOA
Populasi Wanita Paruh Baya di Indonesia
Di Indonesia, populasi wanita usia paruh baya terus meningkat seiring dengan bertambahnya angka harapan hidup.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS, 2022), jumlah perempuan berusia 45–60 tahun mencapai lebih dari 22 juta jiwa, atau sekitar 8 persen dari total penduduk.
Namun, perhatian terhadap kesehatan reproduksi kelompok ini masih terbatas dan kerap terabaikan dalam program kesehatan masyarakat, yang lebih berfokus pada remaja dan ibu hamil.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2018) menunjukkan bahwa lebih dari 30 persen perempuan usia 45 tahun ke atas mengalami gejala fisik dan psikis akibat perubahan hormonal. Namun, hanya sebagian kecil yang mengakses layanan kesehatan yang sesuai.
Selain itu, stigma sosial dan rendahnya literasi kesehatan menjadi penghambat signifikan dalam upaya pemenuhan hak kesehatan reproduksi kelompok ini.
Hak Kesehatan Reproduksi Wanita Paruh Baya
Hak atas kesehatan seksual dan reproduksi wanita paruh baya seringkali terabaikan akibat stereotip terhadap kondisi kesehatan seksual dan reproduksi wanita menopause.
Stereotip ini membuat banyak wanita paruh baya enggan terbuka mengenai kondisi seksual dan reproduksi yang mereka alami.
Lebih jauh lagi dari sisi pendataan, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia/Indonesian Demographic Health Survey (SDKI/IDHS) selama ini hanya mencakup data kesehatan seksual dan reproduksi perempuan usia 15-49 tahun. Sehingga, perempuan usia di atasnya tidak terwakili dalam data nasional tersebut.
Kebutuhan Kesehatan Reproduksi Wanita Paruh Baya
Risiko perilaku kesehatan seksual dan reproduksi di masa lalu, seperti usia saat pertama kali melahirkan dan jumlah kelahiran (paritas), dapat memengaruhi kondisi kesehatan serta menurunkan kemampuan fungsional di masa tua.
Masa paruh baya merupakan fase krusial dalam kehidupan perempuan, yang ditandai dengan menopause, termasuk penurunan fungsi ovarium dan kadar hormon estrogen.
Kondisi ini diperburuk oleh besarnya tanggung jawab yang diemban wanita paruh baya, yang sering kali harus merawat anak yang masih bergantung dan sekaligus merawat orang tuanya yang semakin menua. Selain itu, mereka juga rentan mengalami masalah psikologis seperti empty nest syndrome, yakni perasaan sedih atau hampa yang muncul ketika anak mulai meninggalkan rumah untuk menempuh pendidikan atau menikah.
Di sisi lain, fase ini juga merupakan periode yang penuh tantangan sekaligus peluang—banyak perempuan berada di puncak karier dan memiliki kesempatan untuk mengoptimalkan kondisi kesehatan serta kemampuan fungsionalnya.
“Oleh karena itu, dukungan holistik terhadap kesehatan reproduksi dan mental wanita paruh baya pada masa ini menjadi sangat krusial,” tegas Indra.