TEMPO.CO, Jakarta - Perkumpulan Guru Honorer Muda mempertanyakan transparansi pengelolaan dana iuran yang ditagih ke mereka oleh Persatuan Guru Republik Indonesia atau PGRI setiap bulannya. Seorang anggota perkumpulan, Andi Febriansyah mengklaim mereka justru mendapat intimidasi saat meminta transparansi pengelolaan iuran tersebut.
"Ada yang pernah diancam untuk dimutasi dan dipersulit," kata Andi kepada Tempo, Kamis, 26 Juni 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Besaran iuran yang diminta, kata Andi, memang tak begitu besar, untuk guru yang mengajar di sekolah negeri biasanya sekitar Rp 10 ribu – Rp 60 ribu per bulan. “Tapi bagi guru honorer yang gajinya tak seberapa, buat kami itu terasa memberatkan,” ujarnya. Apalagi, kata Andi, ia tak merasakan manfaat apa pun setelah membayar iuran sejak menjadi guru dari 2020.
Andi pernah mengajar di sekolah swasta di Jakarta. Saat itu, guru swasta mendapatkan dana hibah dari Pemprov DKI Jakarta sebesar Rp 500 ribu per bulan. Tetapi, dana yang harusnya jadi hak Andi secara utuh, malah dipotong sepihak oleh anggota PGRI di sekolah tempat dia mengajar.
“Lumayan lho Rp 100 ribu itu dipotong. Itu baru saya yang dipotong, coba dikali dengan berapa jumlah guru yang dipotong dengan jumlah yang sama,” ujarnya.
Jika ada iuran ruitn, Andi merasa akan melekat pula hak dan kewajiban di dalamnya. Dengan membayar iuran kepada PGRI, Andi merasa ia telah menunaikan kewajiban mereka sebagai anggota. “Maka sudah semestinya penerima iuran, dalam hal ini PGRI, bertanggung jawab untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak profesi keguruan,” kata dia.
Namun kenyataannya, Andi menilai PGRI justru menutup mata terhadap berbagai persoalan yang dihadapi guru, terutama guru honorer yang hidup dalam ketidakpastian dan ketidakadilan.
Alih-alih menjadi rumah perjuangan profesi guru, PGRI dianggap telah menjelma menjadi alat hisap yang membebani. “Organisasi ini bukan hanya gagal memperjuangkan nasib guru, tetapi juga sering kali tampak menjadi perpanjangan tangan negara dalam melanggengkan kebijakan-kebijakan yang menindas,” kata Andi.
Dia berharap agar guru honorer lainnya berani bersuara dan mengevaluasi bahkan mengusulkan untuk membubarkan PGRI. Sebagai gantinya, Andi mengatakan perlu membentuk organisasi profesi keguruan yang benar-benar berpihak pada martabat, kesejahteraan, dan perjuangan guru.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia atau JPPI Ubaid Matraji mengatakan, persoalan iuran PGRI itu sebagai puncak dari masalah transparansi dan akuntabilitas organisasi profesi guru. “Saya setuju dengan tuntutan para guru agar PGRI lebih transparan dalam mengelola dana iuran,” kata Ubaid.
Dia menyebut transparansi itu diperlukan bukan sekadar untuk urusan internal organisasi, tetapi juga menyangkut kepercayaan publik dan anggota. Dana yang terkumpul dari iuran guru, termasuk guru honorer, kata dia, harus dipertanggungjawabkan dengan jelas dan terbuka.
“Iuran itu boleh-boleh saja. Tetapi harus diimbangi dengan transparansi dana dan advokasi nyata bagi anggota. Jika tidak, ormas profesi hanya akan dianggap sebagai penghisap bagi para guru, terutama guru honorer yang paling rentan,” kata dia.
Tempo telah berupaya mengonfirmasi Sekretaris Jenderal Pengurus Besar PGRI Dudung Abdul Qodir. Namun, hingga berita ini ditulis, pihak PGRI belum memberikan respons.