TEMPO.CO, Jakarta - Partai Golkar masih mempelajari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang mengharuskan pemilu tingkat nasional dan lokal digelar terpisah. Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Adies Kadir mengatakan partai beringin masih mencermati implikasi apabila putusan itu dilaksanakan.
Menurut dia, banyak perdebatan yang muncul akibat keputusan MK itu. “Jadi, kami masih mengkaji ya putusan ini. Putusan ini kan agak debatable juga,” ujar Adies di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa, 1 Juli 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu perdebatan yang timbul ialah soal apakah keputusan MK itu melanggar konstitusi. “Ada yang menyampaikan bahwa Undang-Undang Dasar ada yang dilanggar, antara lain Pasal 22E,” tutur Adies.
Putusan Mahkamah, Adies berpendapat, memiliki dampak yang kurang baik terhadap dinamika pemerintahan. Salah satunya soal sinkronisasi program pemerintah pusat dengan daerah.
Wakil Ketua DPR itu mengatakan, selama ini, program presiden dalam satu tahun pertama kepemimpinannya masih sulit untuk diterapkan. “Kita bisa bayangkan bagaimana seandainya itu terpisah sampai dua tahun setengah, ya kan?” ucap Adies. “Program presiden ini yang baru sekarang setahun aja kan masih belum merata, kalau dua tahun setengah, kapan itu program presiden bisa berjalan?”
Ia mengkhawatirkan putusan MK bakal menimbulkan ketidaksinkronan di antara pusat dan daerah, serta berimbas pada pembangunan negara. Padahal, ia melanjutkan, pemerintah pusat dan daerah harus bersinergi. “Nah, hal-hal seperti ini yang juga menjadi kajian-kajian kami di Fraksi Golkar, implikasi, dampak dan lain sebagainya,” ujar Adies.
Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 26 Juni 2025, memutuskan penyelenggaraan pemilu di tingkat nasional harus dilakukan terpisah dengan penyelenggaraan pemilu tingkat daerah atau kota (pemilu lokal). MK menyatakan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional.