Liputan6.com, Jakarta Dokter Hanny Nilasari dari Departemen Dermatologi dan Venereologi FKUI-RSCM mengatakan infeksi menular seksual (IMS) kerap tak muncul gejala. Terutama pada perempuan gejala tidak terlalu jelas sehingga kerap terlambat ditangani.
“Pada perempuan, hati-hati kelainan ini gejalanya kadang tidak spesifik hanya seperti keputihan biasa dan seringnya tanpa gejala,” kata Hanny dalam temu media daring bersama Kemenkes RI.
Jika ada gejala, berikut gejala IMS diantaranya:
- Muncul luka atau lenting di area kelamin
- Cairan abnormal dari vagina atau penis
- Gatal atau nyeri saat buang air kecil
- Pembengkakan kelenjar di lipat paha, dan
- Ruam di kulit.
Penularan infeksi menular seksual dapat terjadi melalui hubungan seksual (oral, vaginal, anal), pertukaran cairan tubuh. Bahka ibu bisa menularkan ke anak saat kehamilan atau menyusui.
Jika tidak ditangani dengan tepat, IMS bisa menyebabkan komplikasi seperti radang panggul, kehamilan ektopik, bahkan infertilitas. Bahkan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan IMS juga berisiko mengalami kematian neonatal, berat lahir rendah, atau lahir prematur.
Skrining Rutin dan Jalani Perilaku Seks yang Aman
Mengingat IMS kadang tak bergejala maka penting untuk melakukan skrining secara rutin. Serta memiliki perilaku seksual yang aman.
“Tren kejadian IMS dari tahun ke tahun terus meningkat, dan usia penderita makin muda," kata Hanny mengingatkan.
Kasus IMS pada Remaja Naik, Sifilis Tinggi
Dalam kesempatan itu, Direktur Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, dokter Ina Agustina, mengungkapkan bahwa dalam tiga tahun terakhir kasus Infeksi Menular Seksual meningkat. Terutama pada kelompok usia muda.
Data Kemenkes mencatat 23.347 kasus sifilis pada tahun lalu, mayoritas merupakan sifilis dini (19.904 kasus), dan 77 di antaranya adalah sifilis kongenital, yang menular dari ibu ke bayi.
Gonore juga tercatat tinggi dengan 10.506 kasus, terutama di DKI Jakarta.
“IMS bukan hanya masalah kesehatan pribadi, ini masalah kesehatan masyarakat. IMS membuka pintu bagi penularan HIV, dan kasus terbanyak terjadi di usia produktif 25-49 tahun, bahkan kini mulai meningkat pada usia remaja 15-19 tahun,” kata Ina mengutip laman Kemenkes RI.