Dilema setelah Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Lokal

1 month ago 10
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online

MAHKAMAH Konstitusi memutuskan penyelenggaraan pemilu di tingkat nasional harus dilakukan terpisah dengan penyelenggaraan pemilu tingkat daerah atau kota (pemilu lokal). Dalam putusan gugatan uji materi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada yang dibacakan pada 26 Juni 2025 itu, MK memutuskan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional.

Pemilu nasional adalah pemilu anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden, sementara pemilu lokal terdiri atas pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala dan wakil kepala daerah. Dengan putusan itu, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak” tidak lagi berlaku untuk Pemilu 2029.

Menyikapi Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 itu, Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR merumuskan sejumlah opsi strategis. Ketua K3 MPR Taufik Basari menegaskan putusan ini menimbulkan dilema konstitusional dan menuntut respons kelembagaan yang cermat dari MPR sebagai satu-satunya lembaga negara yang berwenang mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

“Maka, sikap atau rekomendasi MPR atas kondisi dilematis ini harus mempertimbangkan kekuatan konstitusional yang dimilikinya,” kata Taufik dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta pada Rabu, 9 Juli 2025, seperti dikutip dari Antara.

Politikus Partai NasDem itu menilai implementasi putusan MK itu menimbulkan dilema konstitusional. Di satu sisi, melaksanakan pemilu dengan pemisahan waktu sebagaimana amar putusan Mahkamah berpotensi melanggar ketentuan dalam Pasal 22E ayat (1) dan (2) serta Pasal 18 ayat (3) UUD NRI 1945 yang mengatur pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun dan anggota DPRD dipilih melalui pemilu.

Di sisi lain, kata dia, mengabaikan putusan MK juga berarti melanggar Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan putusan MK bersifat final dan mengikat.

“Dua-duanya problematik. Jika dilaksanakan, maka bisa terjadi perpanjangan masa jabatan DPRD yang tak memiliki landasan konstitusional karena tidak dipilih oleh rakyat. Namun, jika tidak dilaksanakan, berarti kita melanggar prinsip dasar bahwa putusan MK wajib dijalankan,” kata Taufik.

Taufik pun mendorong pimpinan MPR mengambil inisiatif menggelar rapat konsultasi dengan DPR, Presiden, dan MK. Dia menilai konsultasi tersebut penting untuk membahas berbagai opsi rekayasa konstitusi atau constitutional engineering yang memungkinkan sebagai respons atas putusan MK yang menuai kontroversi itu.

Menurut dia, MPR menyiapkan beberapa opsi, antara lain mencakup skenario apabila terjadi gugatan kembali, kemungkinan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu), hingga langkah-langkah alternatif lainnya. “Nantinya, keputusan akan ditentukan berdasarkan opsi-opsi yang disepakati dalam forum konsultasi,” kata Taufik.

Mahfud Md: Putusan MK Soal Pemilu Berpotensi Menimbulkan Masalah

Adapun mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md mengatakan putusan MK yang memberikan jeda waktu antara pemilu nasional dan pemilu lokal berpotensi menimbulkan masalah. Potensi itu terjadi dalam masa transisi pemilihan DPRD.

Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan ini menjelaskan belum ada peraturan yang mengatur pengganti anggota DPRD yang habis masa jabatannya. Berbeda dengan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. Dalam undang-undang, bila masa jabatan mereka habis, masih bisa diganti seorang penjabat sampai dilakukan pilkada.

“Problemnya, kalau menunda pemilihan gubernur, bupati, wali kota dua setengah tahun, ya bisa diatasi dengan mengangkat penjabat. Tapi kalau DPRD kan enggak bisa pakai penjabat,” ujarnya saat ditemui di Jakarta pada Ahad, 6 Juli 2025.

Menurut dia, kerumitan itu yang membuat sejumlah partai ramai-ramai mengkritik putusan MK. Mereka menilai putusan itu melanggar konstitusi dan menimbulkan masalah.

Mahfud pribadi menganggap putusan MK sebuah masalah dan kerumitan tata hukum. Namun, dalam putusan MK, juga dicantumkan solusi mengatasinya. Putusan MK meminta kerumitan itu harus diatur dengan undang-undang.

“Kerumitan itu harus diatur, istilah resminya, masa transisi yang rumit itu harus diatur dengan undang-undang. Artinya dituntut ada pembuatan undang-undang baru, " kata Mahfud.

Dalam hal ini, kata dia, pembuat undang-undang harus mengatur masa transisi bagi DPRD serta membuat undang-undang bagi pemilihan kepala daerah.

Pakar hukum tata negara ini juga mengatakan putusan MK ini berpeluang membuat DPR mengatur pilkada tidak langsung atau dipilih oleh DPRD. Sebab, MK mengizinkan DPR memilih mengadakan pilkada langsung atau tidak langsung, yang tertuang dalam Putusan MK Nomor 072-073/PUU-II/2004.

“Kalau pilpres, harus langsung. Kalau pilkada, boleh langsung dan boleh tidak langsung. Dan DPR memilih pemilihan langsung pada waktu itu," kata dia.

Dia mengatakan ada peluang DPR saat membuat Undang-Undang baru mengubah pilkada langsung menjadi tidak langsung. Namun dia mengatakan semua itu tergantung permainan politik dalam DPR. “Kalau tiba-tiba, lalu dibuat undang-undang sekarang, enggak ada pilkada langsung. Pemilihan bisa kembali ke DPRD,” kata dia.

Dua Usulan Langkah Sikapi Putusan MK soal Pemisahan Pemilu

Sementara itu, Anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo menuturkan putusan MK tentang pemisahan pemilu nasional dan daerah telah membuka babak baru demokrasi elektoral Indonesia. Dia menjelaskan, dengan putusan MK itu, pemilu nasional tetap dilangsungkan serentak pada 2029. Sedangkan pemilu daerah akan digelar pada 2031.

“DPR, pemerintah serta partai-partai politik tidak punya ruang untuk menolak putusan MK tersebut, karena bersifat final dan mengikat," kata pria yang akrab disapa Bamsoet itu dalam siaran pers yang diterima di Jakarta pada Sabtu, 5 Juli 2025.

Pria yang akrab disapa Bamsoet itu mengatakan ada dua langkah yang bisa dilakukan lembaga negara, yakni MPR, DPR, dan pemerintah, untuk menindaklanjuti putusan tersebut.

Pertama, MPR dapat melakukan amendemen terbatas terhadap UUD NRI 1945 guna melahirkan dasar hukum konstitusional untuk memisahkan antara pemilu nasional dan pemilu daerah. “Amendemen ini tidak harus mengubah banyak hal, tetapi cukup menyesuaikan norma-norma pasal terkait kedaulatan rakyat, sistem pemilu, dan masa jabatan,” kata dia.

Langkah kedua, kata dia, adalah merevisi UU Pemilu dan UU Pilkada. Revisi ini bertujuan mengatur kembali jadwal pemungutan suara, masa jabatan anggota DPRD, dan masa transisi antara berakhirnya masa jabatan DPRD dan kepala daerah hasil Pilkada 2024 secara bersama-sama dengan Pilkada selanjutnya pada 2031. “Sehingga pemisahan rezim pemilu dan rezim pilkada terlaksana dengan baik,” ujarnya.

Dengan dua langkah tersebut, Bamsoet yakin nantinya jalannya pemilu di Indonesia akan selaras dengan konstitusi dan undang-undang yang berlaku.

Dalam kesempatan terpisah, Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto mengatakan Indonesia memerlukan sistem pemilu berkelanjutan. “Kami melihatnya bahwa kita perlu sistem pemilu yang melembaga dan berkelanjutan, bisa dibayangkan kalau bergonta-ganti setiap pemilu maka kita tidak akan memiliki sistem yang ajeg,” kata Bima di Kabupaten Badung, Bali, Sabtu.

Bima menuturkan pemerintah dan DPR sudah melakukan proses revisi UU Pemilu. “Jadi ada atau tidak putusan MK, proses ini berjalan. Itu yang pertama. Kedua, putusan MK ini sedang kami pelajari karena bagaimanapun juga revisi itu harus tetap selaras dan senapas dengan Undang-Undang Dasar, tidak boleh bertentangan,” ujarnya.

Meski mengarah pada keinginan agar sistem pemilu tidak diubah, Wamendagri tidak langsung menyimpulkan sepakat atau tidaknya dengan MK. Dia lebih berfokus pada revisi undang-undang yang sedang dijalankan pemerintah sambil melihat muatan-muatan dari putusan MK yang sekiranya dapat dikolaborasikan.

Hendrik Yaputra, Dede Leni Mardianti, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Mengapa Prabowo Tugaskan Gibran Urus Masalah Papua

Read Entire Article