Liputan6.com, Jakarta Beberapa orangtua dengan anak autisme spektrum disorder (ASD) menerapkan diet khusus untuk anak dengan harapan bisa membuat kondisi sang anak lebih baik. Namun, apakah benar anak dengan autisme perlu diet tertentu?
Dokter spesialis anak konsultan neurologi Amanda Soebadi mengatakan menurut data penelitian tidak ada bukti diet tertentu bisa memperbaiki perilaku anak autisme.
"Ternyata, tidak ada bukti bahwa diet khusus bermanfaat untuk memperbaiki perilaku anak dengan autisme," papar wanita yang sehari-hari praktik di RS Brawijaya Antasari Jakarta dalam diskusi daring bersama IDAI beberapa waktu lalu.
"Kalau kita lihat di luar sana, ada banyak penelitian dalam tanda kutip desain berupa laporan kasus tanpa pembanding, tapi sebenarnya tidak konluklusif bahwa diet memberikan manfaat." lanjut Amanda.
Dokter yang praktik di RSUI ini merujuk pada studi yang dilakukan dokter spesialis anak konsultan neurologi Prof Dr dr Hardiono Pusponegoro pada 2015. Dalam studi tersebut Hardiono membagi anak autisme menjadi dua kelompok. Ada kelompok yang tidak konsumsi gluten dan kasein sama sekali. Sementara, kelompok anak autisme satu lagi sengaja di challange untuk diberikan makanan mengandung gluten dan kasein.
"Tidak ada perbedaan (perilaku pada anak) dalam core perilaku pada dua kelompok tersebut," kata Amanda mengungkapkan hasil riset sang guru.
Autisme Tidak Terkait dengan Makanan yang Dikonsumsi Ibu Saat Hamil
Amanda juga mengatakan bahwa tidak ada bukti makanan yang dikonsumsi ibu saat hamil bisa memengaruhi anak lahir dengan kondisi autisme.
"Tidak ada satupun bukti bahwa autisme terkait saat ibu hamil makan atau tidak makan sesuatu atau melakukan sesuatu," kata Amanda di kesempatan yang sama.
"Jadi, tidak ada kaitannya misal ibu makan sushi saat hamil."
Namun, ia mengatakan bahwa kondisi kesehatan saat kehamilan seperti hipertensi, bayi tidak langsung menangis saat lahir, dan masalah kesehatan yang lain bisa meningkatkan faktor risiko gangguan otak apapun.
Memahami Autisme
Autisme adalah kondisi neurodevelopmental yang memengaruhi cara seseorang dalam berkomunikasi dan berinteraksi sosial.
Autisme memiliki spektrum dengan gejala klinis beragam dari derajat ringan hingga berat. Semakin berat gejala klinis autisme --misal anak tidak bisa bicara, tidak ada kontak mata-- maka semakin mudah didiagnosis seperti diungkap dokter spesialis anak subspesialis neurologi Amanda Soebadi.
"Tapi makin ringan maka makin besar, makin tua (diketahui/didiagnosis)," kata Amanda.
Maka dari itu, biasanya autisme baru ketahuan saat remaja atau dewasa itu biasanya karena kasus ringan. "Ada yang baru didiagnosis saat dewasa, biasanya kasus ringan ya," katanya.
Anak Autisme Butuh Terapi
Pada anak yang sudah tegak diagnosis autisme, maka salah satu yang direkomendasikan adalah terapi. Semakin dini mendapatkan intervensi maka hasilnya akan semakin baik.
"Anak-anak autisme perlu terapi," kata Amanda.
Beberapa terapi diantaranya:
1. Terapi sensori integrasi
Membantu anak untuk dapat melakukan proses sensori.
2. Floor time
Pendekatan pragmatis sosial yang digunakan untuk membantu anak dengan autisme mengembangkan kemampuan verbal dan sosial
3. Terapi behavior
Pada anak autisme dengan perilaku agresif terapi ini dibutuhkan. Lalu, bagi anak autisme yang tidak bisa kontak mata juga perlu terapi perilaku.
4. Terapi okupasi
Bila anak autisme mengalami gangguan motorik halus misalnya saat menulis, makan, duduk maka perlu terapi okupasi.
5. Terapi Motorik Kasar dan Wicara (Hanya Bila Perlu)
Hanya bila perlu karena biasanya bila terapi-terapi lain sudah dilakukan akan ada perbaikan kemampuan motorik kasar adan wicara pada anak.