PEMERINTAH Amerika Serikat pada Selasa, 22 Juli 2025, merilis pernyataan bersama berisi kerangka kerja Perjanjian Dagang Resiprokal yang telah disepakati dengan pemerintah Indonesia. Salah satu poin menyebutkan Indonesia harus menyediakan data pribadi warga negara Indonesia atau WNI ke AS.
Menanggapi hal itu, Presiden Prabowo Subianto mengatakan pemerintah Indonesia masih melakukan negosiasi dengan AS soal data pribadi WNI yang akan diserahkan ke Amerika. Kepala Negara tidak menjelaskan alasan pemerintah Indonesia menerima pengambilan data sebagai bagian dari hasil kesepakatan tarif impor Indonesia-AS itu.
Prabowo juga tidak menjelaskan upaya negosiasi apa yang akan dilakukan pemerintah Indonesia kepada AS, menerima atau menolak penyerahan data WNI ke AS dalam negosiasi itu. “Negosiasi berjalan terus," kata Prabowo usai menghadiri peringatan hari lahir ke-27 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Jakarta Pusat, Kamis, 24 Juli 2025, seperti dikutip dari Antara.
Kesepakatan mengenai transfer data WNI ke AS menuai polemik di masyarakat. Sejumlah pihak bahkan mengkritik kesepakatan itu.
Imparsial: Kedaulatan Data Pribadi Bagian dari Kedaulatan Negara
Imparsial mengecam kesepakatan Indonesia-Amerika Serikat yang memuat komitmen pemerintah Indonesia mentransfer data pribadi warga negara Indonesia ke Amerika Serikat. Imparsial menyebutkan langkah tersebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi dan kedaulatan negara.
Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra mengatakan data pribadi warga negara tidak boleh dijadikan objek kesepakatan perdagangan atau ekonomi antarnegara. “Kedaulatan data pribadi adalah bagian dari kedaulatan negara. Presiden Prabowo berpotensi menyerahkannya kepada pihak asing,” kata Ardi dalam siaran pers pada Kamis, 24 Juli 2025.
Kritik itu merespons poin keenam dalam kerangka perjanjian Agreement on Reciprocal Trade yang dilansir dari laman resmi pemerintah Amerika Serikat pada 22 Juli lalu. Dalam dokumen itu, Indonesia disebut “berkomitmen memberikan kepastian terkait dengan kemampuan mentransfer data pribadi ke luar wilayahnya ke Amerika Serikat.”
Imparsial menilai klausul tersebut bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia (HAM), khususnya hak atas privasi. “Pemerintah bahkan tidak boleh semena-mena mengakses data pribadi rakyatnya kecuali dalam kondisi darurat yang membahayakan keamanan nasional,” ujar Ardi.
Selain itu, Imparsial mengingatkan ketentuan tersebut berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). Meski belum sepenuhnya diterapkan, undang-undang ini dinilai sebagai jaminan hukum untuk mencegah penyalahgunaan dan melindungi keamanan data warga negara. Transfer data ke luar, menurut Imparsial, membuat kebijakan pembangunan pusat data nasional menjadi tidak berarti.
Lebih jauh, Imparsial menyoroti lemahnya sistem pelindungan data di AS yang belum memiliki regulasi federal secara menyeluruh. “Jika terjadi penyalahgunaan data, UU PDP Indonesia tidak bisa menjangkau yurisdiksi di sana,” kata Ardi.
Karena itu, Imparsial mendesak pemerintah membatalkan klausul kerja sama tersebut karena dinilai mengancam hak privasi, keamanan data, serta prinsip kedaulatan nasional.
Puan Maharani: Pemerintah Harus Bisa Melindungi Data Pribadi WNI
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani mengingatkan pemerintah agar memperhatikan ketentuan UU PDP dalam merealisasikan kesepakatan dagang antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat, khususnya transfer data pribadi WNI ke AS. Puan menegaskan kesepakatan itu tetap harus berpijak pada ketentuan UU PDP.
“Pemerintah harus bisa melindungi data pribadi warga negara Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi,” kata Puan di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 24 Juli 2024.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPP PDIP) ini mendesak Kementerian Komunikasi dan Digital menjelaskan aturan pelindungan data pribadi dan cara pengimplementasiannya dalam kesepakatan tarif resiprokal antara Indonesia dan AS tersebut. “Apakah memang data pribadi warga negara Indonesia itu sudah terlindungi dan sampai mana batasnya?” ujar Puan.
PKS: Pemerintah Jangan Lemah Menyikapi Permintaan AS
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) meminta pemerintah tidak lemah dalam menyikapi permintaan transfer data pribadi WNI ke AS. “Pemerintah jangan lemah menyikapi permintaan AS. Sehingga semua syarat yang diminta, termasuk menyerahkan data pribadi, dapat disetujui dengan gembira,” kata Ketua Majelis Pertimbangan Pusat PKS Mulyanto melalui pesan pendek pada Kamis, 24 Juli 2025.
Mulyanto meminta pemerintah berhati-hati menyepakati poin kesepakatan tersebut. Menurut dia, klausul itu rawan penyalahgunaan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Dia berujar kesepakatan internasional yang berdampak pada hak terhadap data pribadi seharusnya melibatkan pengawasan dari legislatif dan konsultasi publik. “Eksekutif tidak boleh mengabaikan peran masyarakat dalam kasus seperti ini,” ucapnya.
Menurut dia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus memanggil pemerintah untuk menjelaskan kesepakatan tersebut. Pemerintah juga sepatutnya memberikan keyakinan bahwa data pribadi masyarakat yang sensitif tidak bocor dan disalahgunakan di luar negeri akibat transfer data ini.
Kesepakatan transfer data pribadi, kata dia, bisa membahayakan dalam kondisi sistem pengawasan digital yang lemah. Dia khawatir dengan potensi kebocoran atau penyalahgunaan data oleh lembaga bisnis atau lembaga lainnya di luar negeri.
Apalagi, dia menyebutkan lembaga intelijen AS seperti National Security Agency (NSA) atau Federal Bureau of Investigation (FBI) memiliki kewenangan mengakses data pribadi warga asing di server perusahaan AS. Di AS, ketentuan itu diatur dalam Foreign Intelligence Surveillance Act (FISA 702).
Konsekuensinya, kata Mulyanto, data WNI di cloud milik perusahaan AS dapat diakses secara legal oleh otoritas AS. Otoritas tidak perlu mengantongi izin dari pemerintah Indonesia. “Belum lagi potensi penyalahgunaan data pribadi oleh lembaga bisnis. Ini menjadi alasan Uni Eropa sempat membatalkan skema perlindungan data pribadi dengan AS pada tahun 2020,” tuturnya.
Pakar Ingatkan Risiko AS Kelola Data Pribadi WNI tanpa Lembaga Pengawas
Adapun pakar keamanan siber dari Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha, menilai pernyataan resmi Gedung Putih soal transfer data pribadi dari Indonesia ke AS harus dilihat sebagai momentum strategis, bukan ancaman.
“Momen ini justru dapat dijadikan sebagai peluang strategis untuk mempercepat penguatan tata kelola data nasional yang berdaulat, modern, dan adaptif terhadap tantangan global,” kata Pratama dalam pernyataan tertulis pada Kamis, 24 Juli 2025.
Dia mengingatkan keterbukaan Indonesia terhadap arus data global harus tetap memegang prinsip kedaulatan digital, yakni hak negara mengatur dan melindungi data pribadi warganya di bawah hukum nasional. Dalam hal ini, UU Pelindungan Data Pribadi menjadi kerangka penting.
Menurut dia, UU PDP memang membuka ruang legal untuk transfer data lintas batas selama negara tujuan memiliki standar pelindungan data yang setara atau lebih tinggi dari Indonesia atau bila telah ada perjanjian internasional yang mengikat. Karena itu, dia menilai mendesak dibentuk Lembaga Pengawas Pelindungan Data Pribadi (LPPDP) dan penyusunan peraturan pemerintah sebagai turunan UU PDP.
“Tanpa perangkat teknis dan lembaga pengawas yang independen, komitmen pelindungan hak digital warga hanya akan menjadi jargon,” ujar Pratama.
Meski demikian, dia mengingatkan potensi risiko ketika data pribadi mengalir ke negara yang belum memiliki undang-undang federal seperti Amerika Serikat. Data warga, menurut dia, bisa diakses oleh korporasi teknologi atau lembaga keamanan asing.
Untuk itu, Pratama mendorong Indonesia mengambil posisi aktif dengan merumuskan standar evaluasi objektif terhadap negara tujuan transfer data. Bahkan, kata dia, bila perlu dibuat kesepakatan bilateral yang menjamin hak-hak digital WNI tetap terlindungi, meski datanya berada di luar negeri.
“Indonesia harus menunjukkan kepemimpinan normatif. Kita tidak bisa hanya mengikuti arus global, tapi juga harus ikut membentuknya,” ujarnya.
Anastasya Lavenia Yudi, Dani Aswara, Sultan Abdurrahman, Dian Rahma Fika, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Mereka Bilang Moratorium IKN Belum Perlu