Liputan6.com, Jakarta - Sunat perempuan atau Pemotongan dan Perlukaan Genitalia Perempuan (P2GP) adalah kekerasan terhadap anak perempuan yang tidak dapat dibenarkan dengan bentuk apapun. Termasuk praktik simbolis yang kerap dianggap pelukaan ringan.
Fasilitator P2GP dari Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Suci Maysaroh, mengungkapkan bahwa praktik P2GP, terutama yang bersifat simbolis masih marak terjadi di masyarakat. Hal ini disebabkan pengaruh tradisi dan kurangnya informasi yang benar, bahkan di kalangan tenaga kesehatan dan kader.
“Sejak 2013, kurikulum kebidanan tidak lagi mengajarkan praktik P2GP. Bidan harus berani menolak karena tidak ada dasar hukum maupun manfaat kesehatannya,” ujar Suci dalam diskusi penyusunan Pedoman Teknis Layanan PUSPAGA untuk P2GP di Jakarta, mengutip laman Kemen PPPA, Senin (7/7/2025).
Dalam kesempatan yang sama, Asisten Deputi Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Pemenuhan Hak Anak Wilayah II, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) , Eko Novi Ariyanti, menjelaskan peran Pusat Pembelajaran Keluarga alias PUSPAGA.
Menurutnya, PUSPAGA memiliki posisi strategis. Yakni sebagai layanan berbasis keluarga yang mampu memberikan edukasi langsung, deteksi dini, dan merujuk kasus ke Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). Termasuk kasus P2GP.
Dia menekankan pentingnya pendekatan edukatif, sistem rujukan yang kuat, narasi publik yang tepat, dan berperspektif perlindungan anak.
6 Februari diperingati sebaga hari anti sunat perempuan sedunia. Praktik sunat perempuan masih sering dilakukan di Indonesia. Menjalankan tradisi dan agama jadi alasannya. Padahal, praktik ini terbukti tak memberi manfaat apapun, malah mengundang res...