TEMPO.CO, Jakarta - Beragam pihak mengomentari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) di tingkat nasional harus dilakukan terpisah dengan penyelenggaraan pemilu tingkat daerah atau kota.
DPR
Ketua Komisi II DPR Muhammad Rifqinizamy Karyasuda merespons putusan MK tersebut. Rifqi mengatakan bahwa seharusnya MK tak membuat norma baru di luar DPR dan pemerintah. Ia mengatakan MK sebagai negative legislature yang berwenang untuk memberikan pandangan terhadap kesesuaian suatu norma dengan konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rifqi menganggap MK melampaui kewenangannya. “Sekarang MK itu memposisikan diri sebagai positive legislature. Jadi, bukan hanya mengatakan bahwa ini inkonstitusional tapi dia bikin norma sendiri," kata Rifqi, pada Senin, 30 Juni 2025.
KPU
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mochammad Afifuddin menyambut putusan MK tersebut. Afifuddin menilai pemisahan ini ideal dari sisi pengaturan waktu, desain keserentakan, serta tata kelola penyelenggaraan pemilu. "Kami membayangkan ini kemudian memberikan kepastian hukum dan penyempurnaan substansi dalam penyelenggaraan pemilu,” kata Afifuddin dalam seminar daring, Sabtu, 28 Juni 2025.
Menurut dia putusan MK menyelaraskan nomenklatur, tugas, dan persyaratan badan ad hoc penyelenggara pemilu di semua tingkatan, sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dalam pelaksanaan tahapan. “Tinggal kita kawal bagaimana ini bisa kita implementasikan dengan lebih baik,” katanya.
Partai Buruh
Adapun Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyambut putusan MK soal pemilu tersebut. Iqbal mengatakan putusan MK itu akan menguntungkan partai nonparlemen, seperti Partai Buruh. “(Karena) dapat fokus mencalonkan presiden maupun wakil presiden dari kader internal tanpa harus berkoalisi dengan partai lain,” katanya pada Jumat, 27 Juni 2025.
Partai Demokrat
Ketua Badan Riset dan Inovasi Strategis Partai Demokrat Ahmad Khoirul Umam menilai putusan MK tersebut berpotensi memicu perpanjangan siklus ketegangan politik. Menurut dia penyelenggaraan pemilu yang tidak lagi serentak akan membuat suasana kompetisi berlangsung lebih panjang dan berpotensi mengganggu stabilitas sosial, politik, dan pemerintahan. “Ketidaksinkronan pelantikan pejabat juga menimbulkan masalah koordinasi dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan lintas level,” kata Umam, Sabtu, 21 Juni 2025.
Komite Pemilih Indonesia
Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow menyambut putusan MK tersebut. Jeirry mengatakan putusan MK membuat proses pemilu berjalan tertata dan berkualitas.
Menurut Jeirry, pemilih diberi ruang untuk berfokus isu nasional saat memilih Presiden, DPR, DPD, kemudian bisa benar-benar memperhatikan persoalan lokal saat memilih kepala daerah dan anggota DPRD. “Ini tentu bisa mendorong rasionalitas pemilih dan memperkuat kualitas demokrasi,” katanya melalui keterangan tertulis pada Kamis, 26 Juni 2025..
Wakil Menteri Dalam Negeri
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto berkomitmen mengakomodasi putusan MK dalam proses revisi UU Pemilu yang sedang berlangsung. Ia menegaskan keputusan MK bersifat final dan akan dijadikan masukan dalam penyusunan regulasi ke depan. "Kita pelajari dulu lebih detail keputusan MK ini. Yang pasti, keputusan MK kan final dan kita letakkan dalam konteks revisi (UU Pemilu) sebagai salah satu masukan,” ujarnya.