TEMPO.CO, Jakarta -- Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bahtra Banong mengatakan, lembaganya masih dalam tahap menerima dan menampung aspirasi setelah putusan Mahkamah Konstitusi soal pemisahan pemilu nasional dan lokal. Karena itu, hingga kini belum ada progres pembahasan revisi undang-undang (UU) Pemilu. “Kami, kan, tentu saja berharap, pemilu harus lebih baik ke depannya. Opsi-opsi akan kami kaji mana yang paling pas,” ujar Bahtra saat ditemui Tempo pada Selasa, 8 Juli 2025. Politikus Partai Gerindra ini mengatakan sampai saat ini belum ada arahan dari pimpinan untuk membahas revisi UU Pemilu.
Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis, 26 Juni 2025, memutus permohonan uji materiil Undang-Undang dalam perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024. MK menyatakan memisahkan pemilu di tingkat nasional dan daerah. Pemilu nasional mencakup pemilu anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden, sementara pemilu lokal terdiri atas pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala dan wakil kepala daerah. Permohonan dalam nomor perkara 135/PUU-XXII/2024 diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan putusan itu, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak” tidak lagi berlaku untuk Pemilu 2029. MK memutuskan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional. Senyampang putusan soal pemisahan pemilu nasional dan lokal yang baru, MK merekomendasikan pembentuk undang-undang yakni DPR dan pemerintah memutuskan perihal pengaturan masa transisi/peralihan masa jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah hasil pemilihan pada tanggal 27 November 2024. MK juga meminta pemerintah dan DPR mengatur masa jabatan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota hasil pemilihan pada 14 Februari 2024.
Sejumlah legislator mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan pemilu nasional dan lokal. Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda, misalnya, menilai MK mengambil alih 'tugas konstitusional' DPR dan pemerintah untuk membentuk norma dalam undang-Undang. “Penindaklanjutan putusan MK adalah bagian dari pelanggaran konstitusi itu sendiri,” ujar Rifqinizamy di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, pada Senin, 7 Juni 2025. Politikus Partai Nasdem ini menegaskan pandangan ini merupakan pendapat fraksi, bukan Komisi II maupun institusi DPR.
Dalam kesempatan terpisah, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani juga menentang putusan MK. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat itu menilai keputusan MK ini berpotensi mengacaukan desain pemilu yang sebelumnya telah ditetapkan MK sendiri melalui putusan tentang pemilu serentak.
Partai Gerindra menilai perubahan sistem tersebut menciptakan ketidakpastian hukum dan kebingungan dalam pelaksanaan pemilu ke depan. Muzani secara khusus menyoroti pelaksanaan pilkada dan pemilihan DPRD yang dilakukan dua setengah tahun setelah pemilihan presiden dan DPR. Anggota Komisi I DPR ini menilai situasi ini berpotensi bertentangan dengan konstitusi. “Pertanyaannya, apakah keputusan ini tidak justru bertentangan dengan UUD 1945 yang menegaskan pemilihan dilakukan setiap lima tahun?” ujar Muzani pada Sabtu, 5 Juli 2025, dikutip dari situs resmi Gerindra.
Menanggapi hal tersebut Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati menegaskan, MK dalam putusan pemisahan pemilu nasional dan lokal telah mendorong constitutional engineering atau rekayasa konstitusi. Khoirunnisa mengatakan rekayasa konstitusi dimaksudkan untuk merevisi UU Pemilu dan Pilkada. “Seharusnya justru kalau memang dianggap ada kerumitan atau implikasi lainnya maka perlu segera dilakukan revisi UU pemilu dan pilkada,” kata Khoirunnisa saat dihubungi Tempo pada Senin, 7 Juli 2025. Dia menegaskan dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 model keserentakan juga telah tercantumkan.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menegaskan, MK tidak melanggar Pasal 22E Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945 soal Pemilu. Enny kepada Tempo pada Senin, 7 Juli 2025, mengatakan, MK telah memberi mandat constitutional engineering kepada DPR dan pemerintah selaku pembuat undang-undang untuk menindaklanjuti putusan soal pemisahan pemilu nasional dan lokal.
Menurut Enny, melihat praktik penyelenggaraan pemilu dan pilkada 2019 dan 2024, dan sebagai upaya mewujudkan pemilihan lebih demokratis dengan tetap menjaga keserentakan pemilu, maka pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal menjadi hal yang konstitusional.
Pembahasan Revisi UU Pemilu untuk menyusun aturan paket politik sejatinya sudah muncul pada awal periode 2024-2029. Badan Legislasi (Baleg) DPR menyepakati revisi UU Pemilu masuk daftar Prolegnas Prioritas 2025 yang diputuskan dalam rapat pada 18 November 2024. Namun belakangan Baleg dan Komisi II DPR disebut-sebut tarik-menarik sama-sama ingin membahas revisi UU tersebut.
Salah satu isu yang menjadi kontroversi dalam wacana penyusunan paket UU Politik adalah mengenai wacana pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Ide ini didukung oleh Presiden Prabowo Subianto. Namun para pegiat pemilu memandang sistem itu sebagai kemunduran, karena berpotensi menghilangkan suara rakyat dalam pemilihan langsung.
Wakil Ketua DPR Saan Mustopa mengatakan, DPR akan menggelar rapat konsultatif dengan pimpinan-pimpinan fraksi dan juga pemerintah. Politikus Partai NasDem ini mengatakan kajian ini penting karena menyangkut keberlangsungan sistem demokrasi ke depan. “Ada peluang dilakukan kodifikasi Undang-Undang Pemilu, mengingat regulasi pemilu saat ini masih berpijak pada undang-undang yang terpisah-pisah,” katanya.