KETUA Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Puan Maharani menegaskan bahwa proses pembahasan calon Duta Besar Republik Indonesia untuk negara sahabat maupun organisasi internasional harus dilakukan secara cermat melalui mekanisme resmi yang telah ditetapkan, termasuk di antaranya dengan menugaskan Komisi I DPR sebagai alat kelengkapan dewan yang secara khusus akan membahas nama-nama calon duta besar yang diusulkan presiden.
Penunjukan Komisi I ini, menurut Puan, merupakan tindak lanjut atas Surat Presiden Nomor R3 bertanggal 1 Juli 2025 yang memuat permohonan pertimbangan DPR terhadap calon dubes.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puan menjelaskan bahwa kerahasiaan pembahasan calon dubes ini sudah diatur dalam Pasal 231 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Berdasarkan ketentuan tersebut, setelah presiden menyampaikan surat pencalonan calon dubes kepada pimpinan DPR, pimpinan DPR wajib segera memberitahukan surat itu dalam rapat paripurna terdekat tanpa menyebutkan nama calon maupun negara tujuan penempatan.
“Rapat paripurna DPR menugasi komisi terkait untuk membahasnya secara rahasia,” ujar politikus PDIP itu.
Setelah pembahasan secara tertutup oleh Komisi I selesai dilakukan, hasilnya dilaporkan kepada pimpinan DPR, yang kemudian akan meneruskan hasil tersebut kepada presiden untuk mendapatkan penetapan akhir. Prosedur ini bertujuan menjaga integritas dan kerahasiaan penunjukan dubes, serta memastikan kandidat yang ditunjuk memiliki kompetensi dan kelayakan sesuai kebutuhan diplomasi Indonesia.
Sementara itu, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 2003 tentang Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh merupakan pejabat negara yang diangkat secara langsung oleh Presiden. Mereka bertugas mewakili dan memperjuangkan kepentingan bangsa, negara, dan Pemerintah Republik Indonesia, sekaligus menjadi wakil pribadi Presiden di satu negara penerima atau lebih, atau pada organisasi internasional.
Dalam melaksanakan tugasnya, Dubes RI melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) atau Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) menjalankan kegiatan diplomasi di seluruh wilayah negara penerima atau organisasi internasional untuk memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara, serta memperkuat hubungan bilateral atau multilateral.
Selain menjalankan diplomasi, tugas pokok seorang dubes juga meliputi perlindungan terhadap warga negara Indonesia (WNI) dan badan hukum Indonesia di negara tujuan penempatan, melalui hubungan resmi dengan pemerintah negara penerima atau organisasi internasional yang bersangkutan. Dengan demikian, keberadaan dubes dinilai strategis untuk menjaga dan meningkatkan hubungan politik, ekonomi, serta kerja sama di berbagai bidang.
Hingga saat ini, berdasarkan data DPR, terdapat lima pos duta besar yang sudah lama mengalami kekosongan, yaitu untuk Amerika Serikat, Korea Utara, Libya, Myanmar, dan Afghanistan. Di antaranya, Libya menjadi negara dengan posisi dubes kosong terlama sejak 2017, sedangkan Amerika Serikat mengalami kekosongan kursi dubes sejak 2023. Kekosongan ini menuai sorotan karena Amerika Serikat merupakan mitra strategis Indonesia.
Wakil Ketua Komisi I DPR Dave Akbarshah Fikarno Laksono menegaskan pentingnya keberadaan Dubes RI untuk AS. Menurut Dave, Amerika Serikat merupakan salah satu negara mitra utama Indonesia di berbagai sektor penting, mulai dari kerja sama ekonomi hingga pertahanan.
“Jadi, kalau ada anggapan Amerika Serikat itu tidak penting karena posisi dubes kosong, itu anggapan yang salah,” kata Dave melalui pesan singkat pada Senin, 7 April 2025.
Sebagaimana diketahui, posisi Dubes RI untuk AS kosong sejak Rosan Roeslani mengakhiri masa tugasnya pada 17 Juli 2023. Rosan saat itu ditarik pulang ke Indonesia karena diminta mengemban tanggung jawab baru sebagai Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Dave menyebut penarikan Rosan bukan berarti Amerika dianggap tidak penting, melainkan karena kemampuan Rosan yang dibutuhkan negara pada waktu itu. “Ditarik karena ada tugas yang lebih penting untuk dilakukan di Indonesia. Namun, sekali lagi, bukan karena Amerika dianggap tidak penting,” kata politikus Partai Golkar itu.