TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mendapat penugasan khusus untuk mengatasi sejumlah permasalahan di wilayah Papua. Tugas ini merupakan penugasan khusus pertama Gibran dari Presiden Prabowo Subianto sejak pelantikan pada Oktober 2024.
Kabar penugasan khusus Gibran tersebut disampaikan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra dalam Laporan Tahunan Komnas HAM 2024 pada Rabu, 2 Juli 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Concern pemerintah dalam menangani Papua, beberapa hari terakhir ini sedang diskusi untuk memberikan penugasan khusus dari Presiden ke Wakil Presiden untuk percepatan pembangunan Papua dan bagaimana aparat menangani masalah Papua,” kata Yusril.
Lantas, apa saja masalah di Papua yang menanti diselesaikan Gibran?
1. Masalah HAM
Komnas HAM Perwakilan Papua mencatat sebanyak 22 kasus di Papua pada semester pertama 2025 berpotensi melanggar HAM. Data tersebut berdasarkan monitoring media dan data Sistem Pengaduan HAM (SPH) oleh Komnas HAM Perwakilan Papua mulai 1 Januari hingga 12 Juni 2025.
Adapun 22 kasus ini dikategorikan berdasarkan isunya terdiri dari sembilan kasus agraria, empat kasus lingkungan hidup, tiga kasus ketenagakerjaan, dua kasus kelaparan, dua kasus kesehatan, satu kasus pendidikan, dan satu kasus pengabaian hak kelompok marginal rentan.
“Beberapa kasus tersebut berpotensi melanggar hak atas kesejahteraan, hak hidup, hak anak dan hak mengembangkan diri,” kata Kepala Komnas HAM Perwakilan Papua Frits B. Ramandey dalam keterangan tertulis pada Ahad, 15 Juni 2025.
Beberapa kasus yang disorot Komnas HAM Perwakilan Papua di antaranya soal aktivitas penambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya. Selain itu, terdapat juga banyak aduan masyarakat akibat dampak dari kebijakan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Kabupaten Merauke.
2. Konflik Bersenjata
Sementara itu, menanggapi wacana Gibran akan ditugaskan menangani masalah Papua, Frits mengatakan wakil presiden harus menghentikan pengiriman militer dalam menyelesaikan konflik bersenjata di Papua. Menurut dia pendekatan militer tidak akan menyelesaikan isu HAM.
“Pengerahan militer juga akan menghambat percepatan pembangunan di Papua, “ ujar Frits saat dihubungi, Rabu, 9 Juli 2025.
Frits mengatakan Gibran kudu mengubah pendekatan dalam merampungkan masalah-masalah di Papua. Frits menyarankan Gibran mengutamakan dialog dengan kelompok pro-kemerdekaan Papua dalam menyelesaikan konflik kekerasan.
Ketua Pemuda Gereja Papua Akia Wenda mengatakan konflik bersenjata antara TNI/Polri dan TPNPB masih terus terjadi. Menurut dia, akar masalah konflik ini karena ada marginalisasi politik, diskriminasi budaya, pelanggaran HAM, dan ketimpangan ekonomi. Pendekatan militer bukan solusi mengatasi masalah itu.
“Sebab yang terjadi hanya trauma berkepanjangan dan hilangnya akses pendidikan serta kesehatan bagi masyarakat di zona konflik,” ujar Akia dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 9 Juli 2025.
3. Percepatan Pembangunan Papua
Frits juga meminta Gibran mengevaluasi kinerja Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) yang kala itu dipimpin mantan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Gibran perlu mengetahui capaian BP3OKP untuk mendapatkan gambaran lengkap penyelesaian percepatan pembangunan di Papua.
Selain itu, Frits meminta Gibran membuat peta jalan percepatan pembangunan dan penyelesaian masalah-masalah Papua. Frits menyarankan, pembentukan badan untuk membuat peta jalan itu. Badan itu juga harus diisi oleh para pakar.
“Misalnya, kalau masalah pendidikan diisi bidang pendidikan. Masalah kesehatan diisi pakar kesehatan, “ kata Frits.
Di sisi lain, menurut Frits, Gibran harus mengutamakan penyelesaian konflik kekerasan di Papua. Frits meminta penyelesaian konflik kekerasan diselesaikan dalam kurun waktu 4 sampai 5 tahun. Masalah percepatan pembangunan di Papua lebih baik diserahkan kepada kementerian terkait. “Tapi Gibran tetap yang mengkoordinasi,” ujar dia.
4. Eksploitasi Sumber Daya Alam
Akia berharap kehadiran Gibran di Papua bukan sekedar simbol belaka. Wakil presiden, kata dia, memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk menyelesaikan konflik secara menyeluruh di Papua. “Kami bukan objek pembangunan, kami adalah pemilik tanah ini. Kami tidak butuh pencitraan, tapi keadilan,” ujar Akia.
Akia mengatakan, eksploitasi sumber daya alam (SDA) di Papua telah berlangsung selama lebih dari lima dekade. Menurut dia, eksploitasi itu menjadi simbol penindasan struktural yang sistematis.
Selain itu, di tengah rencana pembangunan, isu HAM kerap digunakan sebagai tameng atas perampasan tanah ulayat, pengabaian masyarakat adat, serta konflik bersenjata yang menimbulkan korban sipil dan aparat.
“Papua yang kaya akan emas, tembaga, kayu, dan minyak bumi justru menjadi ladang eksploitasi, bukan kesejahteraan. Sejak masa Orde Baru, proyek tambang Freeport, MIFEE, dan perkebunan sawit dinilai merusak lingkungan dan menggusur masyarakat adat dari tanahnya, “ ujar dia.
Menurut dia, praktik tambang ilegal makin masif di era pemerintahan Presiden Prabowo. Operasi tambang banyak dilakukan di tanah adat dan kawasan konservasi tanpa konsultasi atau persetujuan dari warga lokal.
Akia pun berharap Gibran bisa menyelesaikan eksploitasi sumber daya alam hingga masalah konflik kekerasan di Papua. Dia meminta ada ruang dialog antara pemerintah dan masyarakat Papua, termasuk kelompok pro-kemerdekaan, dengan fasilitasi pihak ketiga seperti PBB. Menurut dia, transparansi media sangat penting.
“Mengizinkan wartawan independen meliput situasi HAM di Papua akan membuka akses terhadap informasi yang selama ini dikaburkan,” ujar dia.