TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi menyoroti keengganan pemerintah Indonesia dalam menggunakan istilah “indigenous peoples” atau masyarakat adat untuk merujuk pada masyarakat asli sebuah wilayah.
Rukka menyinggung hal itu ketika membahas surat balasan resmi dari Indonesia kepada Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) ihwal dugaan pelanggaran hak asasi manusia dan lingkungan hidup dalam proyek strategis nasional (PSN) di Merauke, Provinsi Papua Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dalam surat ini, ada satu yang menjadi persoalan paling serius dengan pemerintah Indonesia, khususnya dalam 10 tahun terakhir dan memuncak dalam sekitar lima tahun terakhir, yaitu pengingkaran pemerintah Indonesia tentang indigenous peoples di Indonesia,” ucap Rukka dalam acara pertemuan antara Pelapor Khusus PBB untuk Hak-Hak Masyarakat Adat, Albert Kwokwo Barume, dan masyarakat adat yang dihelat di Jayapura, Provinsi Papua, pada Sabtu, 5 Juli 2025.
Surat balasan bertarikh 6 Mei 2025 itu ditandatangani Duta Besar/Kuasa Usaha Ad Interim Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa Achsanul Habib. Dalam surat bernomor 61/POL-II/V/2025 tersebut, pemerintah menyebut masyarakat adat Papua yang diduga menjadi korban pelanggaran HAM sebagai “customary law communities” atau masyarakat hukum adat.
Pemerintah Indonesia sama sekali tidak menyebut indigenous peoples. “Dia menyebutkan customary law communities. Jadi makin ke sini penyangkalan pemerintah Indonesia terhadap masyarakat adat sebagai indigenous peoples, itu semakin kuat,” tutur Rukka.
Menurut Rukka, pemilihan istilah ini persoalan serius. Dia berpandangan penggunaan istilah masyarakat hukum adat menunjukkan Indonesia enggan terikat dengan berbagai standar, norma, dan prosedur PBB maupun prosedur internasional yang melindungi hak-hak masyarakat adat.
“Sangat jelas dalam suratnya ini dia menyebut customary law communities, atau masyarakat hukum adat jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Padahal istilah masyarakat adat punya sejarah politik dan sosial yang panjang,” kata Rukka.
Menyitir laman resmi AMAN, Aliansi ini mempadankan istilah indigenous peoples—yang dipakai secara global—sebagai masyarakat adat. AMAN berpendapat bahwa penamaan “masyarakat adat” menjadi penegasan identitas politik untuk menghubungkannya pada gerakan masyarakat adat.
Menurut Aliansi, masyarakat adat merupakan kelompok masyarakat yang memiliki sejarah asal-usul dan menempati wilayah adat secara turun-temurun. Masyarakat adat memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial-budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mempertahankan keberlanjutan kehidupan masyarakat adat sebagai komunitas adat.
“Ini kenapa penting buat kami menolak berbagai istilah-istilah yang memang dengan sengaja dipilih dan digunakan oleh pemerintah Indonesia yang tujuannya itu adalah untuk mengingkar hak kolektif kami, hak asal-usul kami,” tutur Rukka lagi.
Sebelumnya, sembilan pelapor khusus PBB mengirimkan surat kepada pemerintah Indonesia perihal dugaan pelanggaran HAM dan lingkungan hidup dalam PSN di Merauke. Mereka juga mengirimkan surat kepada PT Global Papua Abadi (PT GPA) selaku perusahaan yang menggarap lahan food estate di sana, khususnya untuk gula dan bio-etanol.
Kedua surat itu dikirim pada 7 Maret 2025. Kemudian pemerintah Indonesia membalas pada 6 Mei 2025. Dalam isi surat balasan itu, pemerintah membantah adanya dugaan pelanggaran lainnya sebagaimana yang dituduhkan, termasuk pelanggaran HAM.
Dalam laporan sembilan pelapor dari PBB, disebutkan bahwa perusahaan PT GPA dan PT Murni Nusantara Mandiri (bagian dari Global Papua Abadi Group), dilaporkan telah diberikan Izin Usaha Perkebunan untuk membersihkan lahan seluas lebih dari 637.420 hektare, yang tumpang tindih dengan wilayah adat.
Mengutip dari surat jawaban perwakilan Indonesia, pemerintah mengklaim kepastian hak-hak masyakarat adat dilindungi lewat berbagai peraturan dan inisiatif kebijakan. Hak-hak itu mencakup hak atas tanah adat; hak untuk mengelola hutan adat, perkebunan, dan wilayah pesisir; serta hak untuk melindungi lingkungan.
Adapun menurut pemerintah, penyelenggaraan food estate sesuai dengan aturan yang berlaku. Pelaksanaannya disertai dialog, dan salah satunya adalah perusahaan harus mendapatkan pengakuan dari masyarakat adat untuk memperoleh Hak Guna Usaha (HGU).
“Saya ingin menegaskan kembali komitmen Indonesia yang teguh untuk melindungi hak-hak semua warga negara Indonesia, termasuk bagi Customary Law Communities atau “Masyarakat Hukum Adat”, sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi,” demikian bunyi surat yang ditandatangani Achsanul Habib itu.