TEMPO.CO, Jakarta - Mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Mohammad Mahfud Mahmodin atau Mahfud Md menilai putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah berpotensi inskonstitusional. Alasannya, pemisahan pemilu dapat berakibat pada perpanjangan masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dari lima tahun menjadi tahun.
"Memang terasa putusan MK ini dituding inkonstitusional. (Tudingan) itu rasanya memang ada alasannya," kata Mahfud di acara diskusi membahas putusan Mahkamah Konstitusi di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, kawasan Slipi, Jakarta Barat, pada Kamis, 24 Juli 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi Pasal 1 ayat (1); Pasal 167 ayat (3); dan Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Pemilu; serta Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah pada 26 Juni 2025. Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 itu menyebutkan bahwa penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu daerah digelar secara terpisah. Pemilu nasional meliputi pemilihan presiden serta pemilihan anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Lalu pemilu daerah meliputi pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan pemilihan kepala daerah.
Mahkamah Konstitusi juga memerintahkan pemilu daerah dihelat paling lama dua tahun 6 bulan setelah penyelenggaraan pemilu nasional tuntas. Putusan Mahkamah Konstitusi ini memunculkan opsi perpanjangan masa jabatan anggota DPRD hingga dua tahun enam bulan, yang seharusnya jabatan mereka berakhir pada 2029.
Menurut Mahfud Md, putusan MK itu dapat dinilai inkonstitusional karena berimplikasi terhadap perpanjangan masa jabatan anggota DPRD. Sehingga pemilu anggota DPRD selanjutnya yang dijadwalkan pada 2029 akan mundur hingga ke 2031. Akibatnya, kata dia, anggota DPRD periode 2024-2029 berpotensi menjabat hingga tujuh tahun. Padahal Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 mengatur bahwa pemilu DPRD digelar setiap lima tahun sekali.
Mahfud berpendapat, perpanjangan masa jabatan anggota DPRD seharusnya hanya bisa dilakukan dengan jalan mengubah UUD. "Yang boleh memperpanjang jabatan (anggota DPRD) itu hanya konstitusi itu sendiri," ujar dia.
Di samping itu, Mahfud menilai putusan MK tersebut tidak konsisten. Sebab, sebelumnya MK sudah pernah memutus perkara yang berhubungan dengan pelaksanaan pemilu. Dalam putusan-putusan MK terdahulu, ujar Mahfud, bentuk penyelenggaraan pemilu yang ada saat ini dinyatakan sudah konstitusional. Namun, putusan MK yang terbaru justru menyatakan bentuk pemilu harus diubah karena tidak sesuai dengan konstitusi. "Itu yang disebut inkonsisten," katanya.
Penjelasan Mahfud ini berbeda dengan pendapat sejumlah pakar hukum tata negara lainnya. Misalnya, pengajar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah mengatakan munculnya norma-norma hukum baru dari MK bisa dibenarkan. Ia mengatakan langkah MK bertindak sebagai legislator positif dan mengeluarkan norma sendiri bukanlah fenomena baru.
"Urusan positive legislature itu sudah kerap kali dilakukan oleh MK," kata Herdiansyah, pada Rabu, 2 Juli 2025.
Herdiansyah menilai putusan Mahkamah Konstitusi yang melahirkan norma baru itu termasuk kategori judicial activism atau aktivisme yudisial. Artinya, menurut dia, Mahkamah Konstitusi boleh menilai sendiri dan membuat norma baru jika pembuat undang-undang tidak membuat norma yang sesuai dengan kepentingan publik.
Dian Rahma Fika berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan Editor: Argumen Lemah Penolak Pemisahan Pemilu