Liputan6.com, Jakarta - Bagi sebagian orang, lari hanya sebatas olahraga untuk membakar kalori. Namun, bagi konten kreator sekaligus sneaker enthusiast, Adityalogy, lari justru menjadi ruang refleksi dan sumber inspirasi kreatif.
"Lari itu kayak main game. Kita ditantang buat jaga mood dan bertahan selama mungkin melakukan hal yang repetitif. Di situlah momen kontemplasi muncul, bahkan ide-ide baru juga banyak yang datang dari situ," kata Adityalogy saat berbincang dengan Health Liputan6.com di peluncuran sepatu New Balance FuelCell Rebel v5, belum lama ini.
Sebagai penggiat dunia kreatif dan produk desain, Adityalogy mengaku banyak mendapatkan insight penting saat sedang berlari. Baginya, momen saat berlari memberikan ruang berpikir yang jernih, jauh dari distraksi layar dan notifikasi.
"Jujur, sebagai content creator dan product designer, banyak banget ide yang gua dapetin dari lari. Itu nyaman banget, dan jadi alasan kenapa gua akhirnya nyaman banget sama olahraga ini," ujarnya.
Sepatu Lari yang Tepat dan Bebas Cedera
Namun, kenyamanan saat berlari tidak datang begitu saja. Adityalogy menekankan pentingnya memilih sepatu lari yang sesuai dengan kebutuhan dan level kemampuan. Salah pilih sepatu bisa berdampak buruk, termasuk cedera lutut dan nyeri kaki.
"Kita harus tahu dulu, kita ini pelari beginner, intermediate, atau advanced. Karena peruntukan sepatu lari itu beda-beda, terutama dalam hal dukungan buat mencegah cedera," katanya.
Dia, mencontohkan, pelari pemula sebaiknya memilih sepatu dengan bantalan yang empuk di bagian tumit. Ini penting karena gaya lari pemula umumnya masih mendarat dengan tumit terlebih dahulu (heel strike).
"Kalau tumit nggak terlindungi dengan baik, bisa menjalar nyerinya sampai ke lutut dan bokong. Jadi buat pemula, pilih sepatu yang empuk dan nyaman buat lari lambat," tambahnya.
Pengalaman Salah Pilih Sepatu
Adityalogy pun mengaku pernah mengalami sendiri akibat salah memilih sepatu. Karena tertarik desain yang keren, dia pernah memilih sepatu yang diperuntukkan untuk pelari profesional.
"Gua pernah milih sepatu yang tumpuannya di forefoot, cocoknya buat pelari pro yang udah mid-strike. Sementara gua masih larinya pakai tumit. Akhirnya lutut dan telapak kaki gua sakit banget setelah lari," katanya.
Pengalaman itu menjadi pelajaran penting. Kini, sebelum membeli sepatu, dia selalu memastikan apakah sepatu tersebut sesuai dengan cara larinya.
"Nggak semua orang bisa pakai sepatu apapun. Kita harus kenal diri sendiri dulu, larinya seperti apa, baru cari sepatu yang mendukung gaya lari itu," tambahnya.
Lari Itu Investasi Jangka Panjang
Selain sebagai sumber ide, Adityalogy melihat lari sebagai investasi jangka panjang untuk kesehatan fisik dan mental. Namun, dia mengingatkan agar jangan sampai niat hidup sehat justru berujung cedera karena pemilihan sepatu yang keliru.
"Jangan sampai kegiatan sehat malah jadi menyakitkan buat tubuh kita. Kalau cedera, kita bisa berhenti lari total. Sayang banget kan, padahal lari itu kalau dijaga bisa jadi rutinitas jangka panjang," ujarnya.
Tidak Mengejar Kecepatan
Berbeda dari pelari kompetitif, Adityalogy mengaku lebih menikmati lari di pace lambat atau conversation pace. Dia pernah mencoba lari 5K di bawah 30 menit saat pandemi, tapi kini lebih memilih lari santai demi menjaga kenyamanan dan konsistensi.
"Sekarang gua lari itu lebih ke zona 2 atau 3 bawah. Yang penting bisa selesai dan tetap nyaman. Gua nggak ngejar pace, gua ngejar feel dan nikmatin prosesnya aja," katanya.
Dalam peluncuran New Balance FuelCell Rebel v5, Adityalogy juga menyampaikan bahwa pemilihan sepatu lari yang tepat bisa membantu pelari tetap konsisten dan menikmati proses.
"Kalau sepatunya cocok, nyaman, dan bisa menopang cara lari kita, itu udah jadi setengah perjalanan. Sisanya tinggal konsistensi dan jaga mood lari aja," katanya.