Liputan6.com, Jakarta Pergelaran seni Festival Bedhayan 2025 digelar di Gedung Kesenian Jakarta, 9 Agustus 2025. Ketua Umum Festival Bedhayan 2025, Aylawati Sarwono, menjelaskan, memasuki tahun kelima, ajang ini menampilkan 15 kelompok tari.
Kelima belas kelompok tari dari komunitas dan sanggar seni ini terbagi dalam dua kategori, yakni Pelestarian (Bedhayan tradisional) dan Pengembangan (Bedhayan ciptaan baru). Bagi Aylawati Sarwono, tari Bedhayan adalah kewajiban moral.
“Ini tahun kelima, ini kewajiban moral. Tadinya saya menari dan merasakan betul dengan belajar menari Bedhaya, keselarasan jiwa raga benar makin baik. Makin sabar dan semeleh. Kalau lagi stres, dengan menari semua hilang,” katanya.
Tak usah healing terlalu jauh dan keluar banyak uang, dengan menari Bedhayan, Aylawati Sarwono mengendalikan ego. Tari Bedhayan adalah “turunan” dari Tari Bedhaya yang sakral dan hanya disajikan di lingkungan keraton.
Tari Bedhaya versi Keraton dilakukan oleh 9 penari. Karenanya, penari Bedhaya harus bisa mengontrol ego agar selaras dengan 8 lainnya. Dalam sesi wawancara eksklusif, Aylawati Sarwono berbagi cerita tentang kecintaan pada wayang orang dan tari Bedhayan.
Bedhayan dan Semangat Menabur Kebaikan
Aylawati Sarwono belajar menari Bedhayan dari gurunya, Dewi Sulastri. Keduanya lantas menggagas Festival Bedhayan untuk merayakan budaya dengan gamelan live. Festival ini bukan sekadar perayaan melainkan menjalankan amanat.
“Kemudian Pak Jaya Suprana bilang, ‘Kamu harus tetap melanjutkan amanat ini. Kalau bukan kamu yang bikin enggak ada yang mau lagi. Karena ini sudah pasti rugi punya project, enggak bisa cari uang di sini,’” Aylawati Sarwono menyambung.
Amanat ini dilandasi semangat menabur kebaikan untuk para seniman yang terlibat agar mendapat kesempatan sekaligus nafkah. Ia berharap ke depan, nasib Bedhayan seperti batik dan kebaya yang kini digandrungi anak muda.
Untuk mencapai popularitas ala batik dan kebaya, Bedhayan bakal melewati jalan berliku. Aylawati Sarwono mengulas, Bedhayan akarnya dari Bedhaya, tarian sakral keraton. Ia hanya boleh ditarikan kerabat istana yang ningrat-ningrat. Rakyat enggak boleh melihat.
“Tentunya itu sangat berjarak dengan generasi muda. Yang dipercaya 9 orang itu penari. Yang ke-10 adalah Nyi Roro Kidul ikut menari di situ, diberikan tempat sebagai penari ke-10. Jadi, sedemikian sakral dan mistis sampai ada cerita seperti itu,” urainya.
Bedhayan Is A Dying Art
Berbincang dengan Showbiz Liputan6.com, di Gedung Kesenian Jakarta, Jumat (8/8/2025), terang-terangan Aylawati Sarwono menyebut Bedhayan is a dying art. Mati segan, hidup juga enggak segar-segar amat. Kenyataan ini menerbitkan kekhawatiran di benaknya.
“Saya khawatir kalau enggak ada yang mau berkorban untuk berjalan di jalan sunyi ini, melestarikan Bedhayan, tarian ini bisa punah. Di keraton, sekarang yang menari banyak dari anak sekolah atau ISI (Institut Seni Indonesia),” Aylawati Sarwono menyambung.
Istri budayawan Jaya Suprana ini kini menekuni dua kesenian, wayang orang dan tari Bedhayan. Berkali Aylawati Sarwono menggarisbawahi, melestarikan wayang orang dan tari Bedhayan adalah kewajiban moral sekaligus amanat Jaya Suprana.
“Mau enggak mau ini kewajiban moral dan amanat Pak Jaya Suprana. (Beliau bilang) tolong wayang orang dan Bedhayan, sampai saya enggak ada pun tetap harus ada,” akunya seraya menyatakan, “Saya selalu bilang di jalan yang sunyi. Sendirian.”
Selain menggelar festival tahunan, Aylawati Sarwono melestarikan tarian ini dengan menerbitkan buku seputra fenomena Bedhayan. Upaya lainnya, yakni mengembangkan Bedhayan berdasarkan lagu-lagu Jaya Suprana. Koreografinya dibuat Dewi Sulastri.
Mistis. Sakral. Beautiful.
Festival Bedhayan 2025 diselenggarakan Laskar Indonesia Pusaka, Jaya Suprana School of Performing Arts, dan Swargaloka. Ajang ini jadi wadah seniman, budayawan, akademisi, dan generasi muda dalam menggali nilai-nilai filosofis, simbolis, serta spiritual tari Bedhayan.
Cita-cita Aylawati Sarwono mengantar Bedhayan ke fase popularitas batik dan kebaya. Ia bangga melihat remaja putri zaman now mulai bangga berkebaya. Mereka memadukan kebaya dengan celana jin atau rok plus sepatu kets.
“Anak-anak muda sudah berani berkreasi. Walaupun yang tua-tua istilahnya ngamuk-ngamuk karena merasa enggak pakem pakai (kebaya dan) sepatu kets. Biar saja yang penting mereka mulai kenal kebaya dan bangga terhadap kebaya itu sendiri,” ucap Aylawati Sarwono.
Kembali ke Bedhayan. Terpilihnya 15 kepompok tari untuk tampil di Festival Bedhayan tahun ini bukan tanpa alasan. “Kalau lebih, festival ini bisa memanjang dua tiga hari. Tahun ini Bedhayan Kakung banyak, ada tiga grup. Yang muda-muda tambah banyak,” serunya.
Melansir dari Antara, Sabtu (9/8/2025), Penasihat Festival Bedhayan dari Swargaloka, Suryandoro, dalam konferensi pers menyatakan, Bedhayan memiliki karakter berbeda dari tarian Jawa lain. Bedhayan memuat nuansa meditatif.
“Kalau tari Jawa lain kepentingannya untuk hiburan atau penyambutan. Tarian ini, kalau dirasakan dengan baik, membuat kita seolah-olah menuju kepada Tuhan Yang Maha Esa,” Suryandoro memaparkan. Aylawati Sarwono membenarkan.
Layaknya perjalanan batin dengan iringan gamelan nan merdu, penari mengolah rasa dalam kebeningan hati. Saat Showbiz Liputan6.com memintanya menggambarkan Bedhayan dalam tiga kata, Aylawati Sarwono menyebut, “Mistis. Sakral. (Very...